Lihat ke Halaman Asli

Teuku Parvinanda Handriawan

Mantan Jurnalis dan Praktisi Komunikasi

Istana dan Gubuk

Diperbarui: 14 Agustus 2024   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Canva

Di sebuah negeri yang kaya akan sumber daya, hiduplah dua keluarga dengan nasib yang sangat berbeda. Keluarga pertama, keluarga Tuan Agung, tinggal di istana megah di atas bukit. Keluarga ini sudah bertahun-tahun menguasai negeri tersebut. Setiap anggota keluarganya, dari yang tertua hingga yang paling muda, telah diajarkan satu hal: kekuasaan adalah segalanya. Mereka percaya bahwa semakin luas cakar kekuasaan mereka, semakin aman dan sejahtera hidup mereka.Setiap hari, Tuan Agung dan keluarganya duduk di meja makan yang panjang, penuh dengan berbagai hidangan mewah. Sambil menikmati hidangan tersebut, mereka merencanakan berbagai cara untuk memperluas kekuasaan mereka. Tidak ada batasan yang mereka kenal, tidak ada aturan yang mereka taati selain satu: mereka harus tetap berkuasa, apapun caranya.

Di sisi lain, jauh di kaki bukit, hiduplah keluarga Pak Rakyat. Mereka tinggal di sebuah gubuk sederhana, di mana mereka harus berjuang setiap hari untuk menyambung hidup. Ibu Rakyat harus bangun sebelum fajar untuk menyiapkan sarapan dari bahan yang sering kali tak cukup. Ayah Rakyat bekerja keras sebagai buruh harian, sementara anak-anak mereka membantu dengan pekerjaan kecil-kecilan di sekitar desa. Mereka tidak pernah tahu apakah makanan yang ada di piring mereka hari ini akan ada lagi besok.

Pak Rakyat selalu mengajarkan anak-anaknya tentang pentingnya kejujuran dan kerja keras. "Kita mungkin miskin," katanya suatu malam, "tapi kita masih memiliki harga diri. Kita tak akan menghalalkan segala cara untuk hidup, karena integritas adalah harta yang paling berharga."

Di atas bukit, keluarga Tuan Agung semakin rakus. Mereka tidak puas hanya dengan tanah dan kekayaan yang sudah mereka miliki. Mereka mulai menggunakan cara-cara kotor untuk menyingkirkan siapapun yang berani menantang kekuasaan mereka. Tuan Agung bahkan menutup mata terhadap kejahatan yang dilakukan oleh keluarganya, selama itu dapat memperkuat posisi mereka.

Sementara itu, di kaki bukit, keluarga Pak Rakyat terus berjuang. Meskipun hidup mereka berat, mereka tidak pernah kehilangan harapan. Mereka percaya bahwa kejujuran dan kerja keras suatu hari akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Mereka menolak untuk mengikuti jejak keluarga Tuan Agung yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Hari berganti hari, dan meskipun keluarga Tuan Agung semakin berkuasa, mereka mulai kehilangan sesuatu yang lebih penting: rasa damai. Mereka selalu waspada, selalu khawatir bahwa kekuasaan mereka akan diambil oleh orang lain. Di sisi lain, keluarga Pak Rakyat, meskipun miskin, hidup dengan hati yang tenang. Mereka tahu bahwa mereka telah melakukan yang terbaik dengan cara yang benar.

Suatu hari, badai besar melanda negeri tersebut. Istana Tuan Agung yang megah mulai retak, dan akhirnya runtuh karena fondasinya yang rapuh. Keluarga Tuan Agung, yang selama ini merasa tak terkalahkan, mendapati diri mereka terjebak dalam reruntuhan kekuasaan mereka sendiri.

Sementara itu, gubuk Pak Rakyat, meskipun sederhana, berdiri kokoh menghadapi badai. Fondasinya yang kuat, yang dibangun dari kejujuran dan kerja keras, membuatnya tetap tegak. Setelah badai berlalu, keluarga Pak Rakyat melangkah keluar dan melihat ke arah bukit yang kini tak lagi megah. Mereka tahu, badai itu bukan sekadar angin, tetapi juga pengingat bahwa kekuasaan tanpa kejujuran adalah rapuh dan sementara.

Di negeri tersebut, akhirnya, hanya keluarga yang hidup dengan integritas yang bertahan. Sementara keluarga Tuan Agung hilang dalam sejarah, keluarga Pak Rakyat menjadi simbol harapan dan ketahanan bagi jutaan keluarga lainnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline