Salah satu tugas utama dari pemerintah Indonesia adalah sebagai regulator atau pembuatan kebijakan publik. Data terakhir dari Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2020 jumlah pulau di Indonesia sejumlah 16.771.
Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam melakukan sosialisasi setiap kebijakan publik sampai ke pelosok pulau-pulau tersebut, berangkat dari problematika tersebut maka Pranata Hubungan Masyarakat (Humas) di pemerintah diharapkan dapat membantu menyelesaikannya dengan cara-cara yang efektif dan efisien.
Pranata Humas merupakan salah satu Jabatan Fungsional Tertentu (JFT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (PermenpanRB) Nomor 6 Tahun 2014. Diatur dalam Pasal 1 angka Pranata Humas adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan pelayanan informasi dan kehumasan.
Pelayanan Informasi dan Kehumasan adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh pranata humas, mulai dari perencanaan, pelayanan informasi, pelaksanaan hubungan internal dan eksternal, audit komunikasi kehumasan, dan pengembangan pelayanan informasi dan kehumasan.
Dalam sebuah proses sosialisasi sebuah kebijakan pada umumnya akan terjadi sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator (penyampai pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Problematika yang sering terjadi adalah kerap kali kebijakan/pesan tersebut tidak sampai dengan semestinya kepada komunikan.
Adapun faktor-faktor seperti demografi, kultur, bahasa dan psikologis merupakan salah satu kendala dari penyampaian suatu kebijakan publik. Tommy Suprapto dalam bukunya "Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi" menyebutkan setidaknya ada tiga faktor psikologis yang bisa menjadi sebuah hambatan komunikasi:
1. Selective attention. Orang biasanya cenderung untuk mengekspos dirinya hanya kepada hal-hal (komunikasi) yang dikehendakinya.
2. Selective perception. Apabila seseorang berhadapan dengan suatu peristiwa komunikasi, maka ia cenderung menafsirkan isi komunikasi sesuai dengan prakonsepsi yang sudah dimiliki sebelumnya. Hal ini erat kaitannya dengan kecenderungan berpikir secara stereotip.
3. Selective retention. Meskipun seseorang memahami suatu komunikasi, tetapi orang berkecenderungan hanya mengingat apa yang mereka ingin untuk diingat.
Hambatan di atas merupakan salah satu penyebab yang berasal dari pihak komunikan, lain halnya apabila itu datang dari pihak komunikator yang biasa disebut sebagai hambatan semantik. Seorang komunikator ketika menyampaikan pesan akan lebih baik menggunakan bahasa dan kata-kata yang sifatnya denotatif (kata-kata yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus dan diterima secara umum), kemudian menghindari bahasa dan kata-kata yang sifatnya konotatif (kata-kata yang mempunyai makna atau ungkapan).
Onong Uchjana Effendy dalam bukunya "Dinamika Komunikasi" menyebutkan bahwa sering kali salah ucap disebabkan komunikator berbicara terlalu cepat sehingga ketika pikiran dan perasaan belum terformulasikan secara cakap, namun kata-kata sudah terlanjur diucapkan. Hambatan semantis adakalanya disebabkan pula oleh aspek antropologis, yakni dimana kata-kata yang sama bunyinya dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda.