Lihat ke Halaman Asli

Tety Curniawaty

Mahasiswa S1 Hukum Universitas Airlangga

Fenomena "Surat Ijo" di Surabaya dan Payung Hukum yang Menaunginya

Diperbarui: 6 Juni 2022   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surat Ijo merupakan salah satu fenomena hukum pertanahan yang terjadi di Surabaya. Surat Ijo sendiri adalah Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang diberikan kepada subyek hukum tertentu, pada kasus ini masyarakat menjadi penerima IPT dari pemerintah. Data terbaru menyatakan bahwa di Surabaya, lahan yang bersertifikat hijau berluaskan sekitar 1.200 hektar yang tersebar di 23 kecamatan. Angka tersebut termasuk angka yang sangat tinggi.

Persoalan mengenai sertifikat hijau memang bukan sesuatu yang baru, masyarakat sudah melakukan aksi tuntut Surat Ijo menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). beberapa kali sebelum 2022. Sertifikat hijau merupakan surat keterangan Hak Pengelolahan Lahan (HPL). Secara historis, tanah HPL merupakan lahan tempat tinggal yang diperuntukkan kepada karyawan di zaman Belanda. Tetapi seiring berjalannya waktu, berdasarkan peta tanah, kepemilikan mengenai lahan tersebut tidak jelas sehingga pemerintah menyatakan lahan tersebut sebagai HPL. Karena statusnya HPL, maka warga yang menghuni tanah tersebut akan dikenakan biaya sewa oleh pemerintah kota. Sebagai bukti sewa tersebut maka warga akan mendapatkan surat keterangan bersampul hijau yang disebut sertifikat hijau, dan tanah HPL tersebut dikenal sebagai “Tanah Surat Ijo”.

Dalam kacamata hukum tanah dikategorikan sebagai benda tidak bergerak sehingga sebagai benda yang tidak bergerak, hak atas tanah tidak dapat dibuktikan dengan bezit atau kekuasaan, melainkan melalui pencatatan sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang disebut sebagai UUPA. Akan tetapi di dalam UUPA sendiri hanya tercantum Hak milik, HGB, dan HGU. Sedangkan HPL tidak diatur dalam UUPA, maka hal tersebut menjadi perdebatan mengenai keberadaan HPL. Ketentuan yang mengharuskan warga pemilik Surat Ijo untuk memperoleh IPT diatur pada Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah. Selain membayar IPT, warga juga diharuskan membayar retribusi yang besarnya tergantung pada lokasi dan luas lahan. Meskipun begitu tak ayal banyak warga yang menyatakan enggan membayar retribusi karena dinilai adanya ketidakjelasan landasan hukum mengenai penarikan retribusi dan merupakan perbuatan yang melawan hukum, terlebih lagi HPL tidak tercantum di dalam UUPA.

Adanya perbedaan antara Perda ITP dan UUPA menunjukkan seharusnya Perda IPT seharusnya tidak dapat diberlakukan, sehingga Pemerintah Kota Surabaya diharapkan dapat melepaskan serta tidak lagi memberlakukan sistem perjanjian dalam pemanfaatan aset yang berupa bidang tanah/lahan. Untuk menyelesaikan permasalahan mengenai Surat Ijo ini, Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan peraturan yang memungkinkan adanya perubahan status HPL menjadi Hak Milik, yang tercantum dalam Perda Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline