Lihat ke Halaman Asli

Luruh Bersama Dedaun Kering

Diperbarui: 1 November 2022   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Oleh Teti Taryani, Guru SMKN 1 Tasikmalaya

Kaget juga menerima hadiah dari orang yang merahasiakan diri. Sejak kado itu tersimpan di meja kerjanya, Bu Dina hanya memandangi saja tanpa berani membuka. Rekan kerjanya turut penasaran juga. Kado seukuran dus wadah sepatu itu dipegang bergiliran dan dibolak-balik. Tulisan yang tertera pada salah satu sisi dus tetap seperti itu. Teruntuk guruku tercinta: Bu Dina Handayani. Hanya itu. Tidak kurang, tidak lebih.

"Buka saja, Bu. Siapa tahu ada keterangan lain di dalamnya. Boleh 'kan ikut penasaran?" ujar Bu Heti sambil tertawa kecil.

Bu Dina menyertai tawa temannya. Apa guru-guru tahu kalau rasa penasaran Bu Dina jauh lebih besar dibandingkan dengan rasa penasaran mereka? Guru senior cantik itu hanya diam. Membuat temannya semakin penasaran.

Ini bukan hari ulang tahunku, bukan pula hari pernikahanku. Menurutku hanya dua hal itu yang menjadi hari istimewa dan layak dihadiahi. Kalaupun ada hadiah, tentulah berasal dari anggota keluarga. Bukan datang dari orang yang tidak diketahui identitasnya. Apalagi sekarang. Tidak mungkin ada kado pernikahan karena Mas Herdis, begitu panggilanku pada Herman Diswara, telah meninggalkanku begitu saja. Pergi dengan membawa benda-benda berharga milikku. Ulang tahunku juga sudah lewat. Jadi, ini kado dari siapa dan untuk apa? Suara di benak Bu Dina tak henti berceloteh.

Buka, jangan, buka, jangan. Lanjut suara yang bertalu-talu di dalam hatinya. Diputuskannya untuk membuka dus hadiah itu nanti selesai jam mengajar.

"Belum dibuka juga, Bu? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa datang kepadanya suatu pemberian tanpa ia memintanya atau menunjukkan keinginan untuk memperolehnya, lalu ia menolaknya, sesungguhnya ia menolak pemberian Allah subhanahu wa ta'ala," kata Pak Hamim, guru PAI, tetiba menyampaikan petuahnya.

"Bukan menolak, Pak. Hanya menunda karena belum yakin," jawabnya.

"Padahal sudah harus yakin lho, Bu. Nama Ibu jelas tertera di kado itu," imbuhnya.

"Ya, deh, Pak. Nanti saya buka kalau selesai ngelas."

Bu Dina segera beranjak untuk melanjutkan tugasnya di kelas lain. Sambil mengajar, sesekali dia membuka gawai untuk memeriksa pesan dan mengecek email kalau-kalau ada petunjuk yang lebih terang untuk menjelaskan asal muasal kado itu. Namun, hingga tuntas tugas mengajar hari ini, tidak satu pun diperoleh petunjuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline