Lihat ke Halaman Asli

Usai Tarung, Langsung Berpelukan

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1401685340729285653

*** Menengok Sportivitas Olahraga Peresian, Seni Tradisional dari Daerah Lombok

[caption id="attachment_339686" align="aligncenter" width="528" caption="Pepadu sedang bertarung mencari sasaran yang kosong. Seni tarung peresian merupakan olahraga cukup populer di Nusa Tenggara Barat. "][/caption]

Musik gamelan berirama.  Diiringi alunan tembang dari sang pelantun. Penonton sudah berkerumun di lapangan. Meski sore, tapi panas begitu menyengat. Mereka tetap setia menanti dua Pepadu masuk arena lapangan.

Tak lama, pakembar atau wasit memasuki arena di area seluas 12,5 x 12,5 m. Dia diikuti dua pakembar tepi, juru motivator pepadu yang berduduk di pojok arena.

Dua orang remaja masuk. Sorak sorai begitu membahana di sekliling lapangan. Salah satu dari mereka menari-nari mengikuti irama musik gamelan.

Dua pakembar tepi  pun menyerahkan penjalin dan ende kepada dua pepadu. Penjalin merupakan alat pemukul sepanjang satu meter setengah terbuat dari rotan. Sementara ende adalah tameng.

Para pepadu ini bertelanjang dada. Kepala diikat. Setiap pepadu boleh pakai sarung dan boleh juga pakai celana panjang. Selain itu, mereka juga memakai ikat pinggang. ikat pinggangnya ada yang berupa jarik, kain tenun dan lain sebagainya.

Begitu pluit berbunyi, pertanda pepadu mulai bertarung. Yang menjadi sasaran adalah anggota tubuh dari mulai pusar hingga kepala.  Yang paling utama adalah kepala. Kepala sampai bocor berdarah-darah berarti kalah! Guna menghindari serangan, tameng itu dipergunakan.

Mereka berjibaku, mencari kelengahan lawan. Pukul memukul sekuat tenaga. Mereka saling mencari daerah lawan yang kosong di area badan dan kepala. Tapi tidak boleh memukul di bawah pusar.

Gendingan degung semakin kencang. Seolah memprovokasi mereka yang sedang adu kekuatan dan ilmu.

Pakembar meniupkan pluit di menit ketiga. Itu pertanda ronde pertama, udah usai. Pertandingan harus berhenti. Kedua pepadu tidak boleh menyerang.

Kedua pepadu harus menepi.  Pakembar tepi pun memberikan motivasi kepada sang pepadu. Dia juga memerika penjalin yang digunakan pepadu, apakah masih kuat atau sudah patah.

Selang waktu sekitar dua menit, sang pakembar pun kembali meniupkan pluit. Pertanda pertandingan kembali dilanjutkan.

Pepadu pun mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjatuhkan lawan. Keduanya, saling mencari celah kelengahan masing-masing. Pukul kanan, pukul kiri, pukul atas.

Nampaknya, mereka telah terlatih. Tak ada satu pun yang sampai berdarah. Hanya goresan, pukulan ke bagian punggung.

"Priiiit!" suara pluit berbunyi di sela-sela hentakan musik gamelan. Mendengar tiupan pluit, salah satu dari pepadu menari-nari mengikuti tabuhan musik gamelan yang ditabuhkan. Dia seolah mengejek lawannya. Dia sadar, lawannya itu tidak akan berani memukul di luar waktu pertandingan yang telah ditentukan pakembar.

Pakembar tepi pun akan menanyakan kepada pepadu mengenai kondisi fisik. Pertarungan tidak akan dilanjutkan bila pepadunya sudah cape, fisiknya tidak kuat.

Waktu istirahat sudah selesai. Pepadu pun kembali bertarung diiringi hentakan musik gamelan. Ini merupakan ronde terakhir.

Sayangnya, dua pepadu itu sama-sama tangguh. Tak ada satu pun yang terluka.

Usai bertarung, wajah kedua pepadu yang tadinya tempramen kembali mencair. Kedua pepadu itu saling rangkul.

Menurut Madun, mantan pepadu, setiap pepdu itu mencari celah kelengahan lawan. Yang jadi sasaran utamanya adalah siku, atau kepala. "Bila sikunya sudah kena pukulan, otomatis dia akan gampang dikalahkan. Karena begitu kena, sikut itu akan terasa lemah dan lemes," ungkapnya.

Sementara pukulan yang kena ke punggung atau iga, itu masih bisa ditahan. "Pada waktu tarung masih bisa ditahan, tapi bila malam hari ngga bisa tidur karena panas rasanyan," ungkap pria yang kini menjadi pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Namun, lanjut dia ada obat penangkalnya. Anggota tubuh yang kena pukulan, cukup dioleskan minyak lenta. "Cukup dioleskan, bisa sembuh. Atau bila berdarah, besoknya luka itu akan cepat kering," katanya.

Minyak ini bukan sembarang minyak. Kata dia, minyak ini tak ada di pasaran. "Pembuatannya pun butuh waktu-waktu khusus dan ritual khusus pula. Jadi tidak sembarangan," tutur pria berkepala plontos itu.

Kakek satu cucu itu,  menceritakan, untuk menjadi seorang pepadu perlu latihan terlebih dahulu. Awalnya tidak langsung menggunakan rotan, melainkan pakai pelepah pisang. "Waktu latihannya di sore hari menjelang senja. Mengapa demikian, karena untuk melatih kecepatan mata," ungkapnya.

Kata dia, mata yang sudah terlatih akan secara refleks, membaca arah gerak lawan. Begitu juga tangan kiri maupun kanan.

Namun ia juga mengakui, dalam peresian ini tidak lepas dari unsur mistisnya. Setiap petarung itu menggunakan sabuk, sabuknya bisa berupa kain jarik maupun kain tenun yang diikat dipinggang.

"Sabuk itu didapat dari dukun-dukunnya. Biasanya, setiap akan tarung itu di tepi ada dukunnya," tutup dia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline