Fadhilah ibadah di bulan Ramadan sangat tidak terhingga. Tidakkah kita ingin bersama anak-anak belajar beribadah sehingga kebagian mendapatkan berbagai keutamaannya itu?
Mendidik anak beribadah tidak mudah. Apalagi kalau tidak memiliki kuncinya seperti mendampingi dan membiasakan sejak kecil. Setiap orang tua pasti merasakan bagaimana susah dan lelahnya berjuang menempa buah hati supaya memiliki karakter baik sehingga tercapai tujuan menciptakan anak soleh dan atau solehah. Tapi jika kuncinya sudah dipegang, pintu keberhasilan buah dari mengajarkan anak ibadah akan terbuka.
Sudah sejak usia lima tahun Fahmi putra saya mulai tertarik belajar puasa karena selalu bertanya kenapa orang di rumah tidak minum dan tidak makan pada siang hari. Penasarannya itu kami jawab dengan pengertian yang sederhana, dengan tanpa mengurangi arti dan maknanya. Termasuk mengajarkannya belajar puasa secara bertahap. Karena terus berlatih dan terus diberikan pemahaman hingga akhirnya tahun lalu ia berhasil menamatkan puasanya satu bulan penuh. Semoga Ramadan tahun ini ia bisa istiqomah juga menjalankan ibadah puasanya, dan ibadah-ibadah lainnya.
Mendidik anak memang tidak mudah, tapi melihat dari pengalaman teman dan cerita di sekitar bukan berarti itu tidak mungkin.
Kami merasa terkejut ketika diceritakan kalau putra nomor dua Pak Ustadz Syarif, guru kaligrafi Fahmi di pesantren masih duduk di bangku sekolah dasar tapi sudah menjuarai lomba kaligrafi tingkat kabupaten. Padahal ayahnya bilang, ia tidak pernah diarahkan untuk belajar kaligrafi, apalagi disuruh mengikuti jejaknya sebagai orang nomor satu di Pesantren Kaligrafi Nurul Huda Nyalindung.
Minat dan keahliannya muncul mungkin karena ia sering melihat kegiatan membuat tulisan indah. Setiap hari berada di lingkungan pesantren kaligrafi dimana setiap anak yang datang dan pergi mempelajari dan memperdalam teknik menulis kaligrafi sehingga apa yang ia lihat dengan sendirinya mengarahkan dan menuntunnya ikut belajar.
"Padahal saya dan ibunya tidak pernah mengajak apalagi menyuruhnya untuk belajar buat kaligrafi," Kata Ustad Syarif. "Baru setelah ketahuan ia suka corat-coret gitu, menyalin karya santri yang lebih dewasa, saya kasih teknik dasar kaligrafi-nya sehingga kemampuannya semakin terarah dan terasah."
Cerita lain teman saya Teh Ai, seorang guru agama di sekolah tingkat pertama nomor satu di kecamatan tempat saya tinggal memiliki dua orang balita perempuan. Teh Ai yang berpenampilan syar'i selalu mengajak kedua putrinya ke kemisan --pengajian ibu-ibu di madrasah setiap hari Kamis. Lucunya kedua putrinya didandani dengan pakaian yang syar'i pula. Meski keduanya masih balita, namun setiap hari Teh Ai tanamkan dan ajarkan untuk belajar menutupi aurat. Sampai usia anak pertamanya mau lima tahun ini, kemanapun ia pergi atau bermain terlihat sudah nyaman saja dengan baju panjang dan jilbab karakternya.
Lain lagi kisah seorang tokoh di daerah kami, meski orangtuanya terpandang, namun anak-anaknya memiliki sikap karakter dan pembawaan yang berbeda. Anak laki-laki paling besar pembawaannya cukup baik. Rajin ibadah dan sekolah sambil mondok. Tapi adiknya yang perempuan, penampilannya tomboy, setiap sore selalu ngabuburit lewat depan rumah dengan suara sepeda motor kupling yang knalpotnya bikin pendengaran bising. Kabar yang saya dengar orangtuanya dulu bercerai. Lalu ayahnya yang sang tokoh itu menikah lagi dan kini memiliki seorang anak laki-laki usia sekolah dasar. Mungkin, kondisi orang tua dan keluarga ikut mempengaruhi sikap dan perilaku anak-anaknya.