Sambil menina-bobokan anak iseng nonton film lepas di televisi yang sudah (mungkin) setengah jalan. Entah siapa aktor dan aktrisnya, hanya melihat dari pakaian dan suasana yang digambarkan, film itu menceritakan pasukan perang Amerika di negara Nigeria.
Maklum nonton sambil sibuk usap sana-usap sini, cerita sana-cerita sini gagal fokus deh sama itu film. Lagian namanya film perang, rata-rata jalan cerita mudah ditebak. Pemberontak dimusnahkan tentara, pengungsi dengan segala permasalahan serta tim relawan kedokteran dengan latar belakang keluarga. Ya, seputaran itu saja.
Baru mata ini mulai tak beralih ketika anak sudah tidur dan film menampilkan pasukan tentara Amerika itu mendeteksi adanya pasukan lain yang mengikuti mereka. Sang Letnan mulai curiga kenapa pasukan itu bisa mengetahui keberadaannya? Akhirnya setelah digeledah ditemukan jika salah satu pengungsi itu membawa alat komunikasi yang bisa memancarkan sinyal. Karena itu keberadaan mereka bisa dilacak dan dengan mudah disusul pihak lawan.
Sang Letnan benar-benar kecewa. Merasa pengorbanan nya selama ini membawa sekian banyak pengungsi sia-sia saja. Namun konflik batin menyadarkan nya. Rasa kemanusiaan lebih mengungguli daripada perintah atasannya yang mengharuskan mereka ditinggal saja daripada "memberatkan".
Bijaksananya, selaku pemimpin pasukan yang membawahi 6 orang prajurit, Sang Letnan dengan terbuka menjelaskan semua. Ia diperintah pusat untuk segera menuntaskan misi, dengan cara meninggalkan para pengungsi supaya pasukan lebih cepat meninggalkan perbatasan. Tapi secara nurani Sang Letnan tidak akan mengikuti perintah itu. Setiap prajurit dipersilahkan menentukan sikap. Dan salut sama keloyalan nya, para prajurit pun ikut terhadap sikap sang pemimpin.
Selama dalam perjalanan, dengan segala kisah pilu terkait keserakahan, kekuasaan, dan kemanusiaan akhirnya diketahui Sang Letnan beserta prajuritnya jika salah satu pengungsi yang mereka bawa adalah seorang putra presiden yang sudah digulingkan oleh para pemberontak. Putra Presiden ini justru yang jadi incaran para pemberontak supaya keturunan presiden yang mereka khianati semua lenyap. Niat Sang Letnan untuk berperang habis-habisan membawa mereka ke perbatasan pun semakin kuat.
Kisah peperangan itu sudah bisa ditebak jika ujungnya pasukan pasti selamat. Dan saya tidak menyaksikan film itu sampai selesai karena prediksi saya itu tadi. Yang saya pikirkan kembali adalah adanya pelajaran hidup tentang karakter baik dari seorang manusia yang sempat saya saksikan dari film itu.
Bagi penonton yang menggunakan hati, pasti akan tertampar dengan situasi yang bertolak belakang antara kondisi dalam film dengan kondisi nyata di kehidupan sehari-hari kita saat ini. Masihkah kita temukan karakter baik dalam jiwa-jiwa manusia jaman sekarang? Masih adakah orang yang memilih mengorbankan nyawa demi bisa melihat pengungsi tetap selamat sehingga bisa berjumpa dengan anak-anaknya? Sementara kenyataan yang ada di depan mata kita sesama manusia justru saling menjatuhkan untuk mendapatkan kekuasaan. Mencari-cari kesalahan orang supaya diberatkan dan orang yang dijagokan bisa naik menggantikan.
Karakter baik memang sangat sulit kita temukan saat ini. Orang malah akan balik mencaci jika secara terang-terangan merasa digurui. Tapi jika kita jeli, pelajaran karakter baik ternyata justru bisa kita temui secara tidak terduga, melalui film selintas yang sudah dilihat tadi, contohnya.
Selamat malam, semoga karakter baik kita terus bertambah dan karakter buruk yang ada di diri kita perlahan terbunuh saat kita bangun esok pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H