Benar begitu kan?
Buktinya saat naik angkutan pedesaan dari Sukanagara ke Pagelaran, ongkos biasa tujuh ribu sampai sepuluh ribu, siang tadi tetap saja segitu. Memang kalau naik elf di Cianjur Selatan ini sedikit lebih murah, dikasih satu lembar lima ribu saja masih diterima. Penurunan bahan bakar sejak 1 April 2016 untuk premium yang awalnya Rp 6.950 turun jadi Rp 6.450, dan solar dari Rp 5.650 jadi Rp 5.150 itu sama sekali tidak ada dampaknya.
Coba saja, saat bahan bakar minyak (BBM) naik, semua harag sembako dan ongkos berlomba saling cepat ikut naik. Tidak tanggung-tanggung besarannya bukan sekitar berapa persen, tapi langsung sekian puluh persen. Buat ibu rumah tangga macam saya yang hanya mengandalkan pendapatan pemberian dari hasil honor suami tiap bulan ya paling-paling bisanya pasrah dan nerima saja. Habis mau gimana lagi?
Saat BBM turun, walaupun hanya sekian ratus perak, Coba apakah sembako dan ongkos berlomba pula ikut turun? Ah! Tidak. Yang ada baik pedagang sembako maupun kondektur angkutan tetap mencari dalih. Meski BBM turun, hanya sekian ratus perak, buat bayar parkir aja tidak cukup! Begitu alasan para pedagang di Pasar Kecamatan Pagelaran, Pasar Muka Ramayana, dan Pasar Induk Pasir Hayam Cianjur yang biasa saya berbelanja disana.
Apalagi saat ini musim hujan membuat sayuran susah dan melambungkan harga. Sama sekali tidak bergeming dengan adanya gembar-gembor harga BBM turun. Benar-benar sama sekali tidak ada hubungannya antara penurunan harga beli BBM dengan harga-harga sembako yang justru malah makin melangit. Sekalipun di Pasar Tradisional Pagelaran yang masih banyak penjual sayur lokalnya alias sayuran yang dijual adalah hasil memetik sendiri di kebun/halaman rumah, tidak pake ongkos BBM.
Apalagi jika penurunan harga BBM ini masih bisa berubah menginat berlakunya harga baru itu dalam jangka tiga bulan saja. Juli kedepan sudah bisa dipastikan mau turun lagi dan apalagi naik kembali, harga-harga akan mengalami guncangan, kembali bergelombang. Efek turunnya BBM yang hanya sekian persen ini sama sekali tidak ada dampaknya untuk perekonomian di daerah. Kalaupun ada pihak yang mengikuti peraturan menurunkan harga tarif kendaraan (ongkos), sebesar lima ratus rupiah saja orang pun agak enggan mencari kembalian dan atau uang pas. Jalan keluarnya ya saling mengikhlaskan saja. Diakhiri doa pada ujungnya semoga diberi gantinya yang lebih dari jalan yang tidak disangka. (ol)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H