Lihat ke Halaman Asli

Okti Li

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

Rindu Baduy Dalam: Pelajaran dari Safri, Pelestari Tradisi Hadapi Modernisasi

Diperbarui: 3 April 2016   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Editha bersama Safri dkk. Dokpri"][/caption]Safri (24) warga Baduy (Dalam) punya akun facebook? Hahaha... Mimpi kali ye? Sekolah saja tidak, bahasa Indonesia saja belum tentu ngerti, sinyal pun entah jaman mana bisa ketangkep di Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana (Baduy Dalam). Mana bisa buka FB kalau enggak dibuatin?

Sikap Anda pasti tidak jauh beda dengan pendapat di atas (tertawa dan tidak percaya) jika saya kabarkan kalau teman saya, seorang warga Baduy Dalam saat ini sudah punya akun media sosial dominan warna biru yang dibidani oleh Mark Zuckerberg ini. 

Tapi bagi saya itu bukan sebuah hal yang mustahil. Karena saya sudah tahu kalau Safri, sahabat saya dari Baduy Dalam yang sudah saya kenal sejak awal Mei 2012 itu memang pintar dan pandai melihat "dunia luar". Dunia di luar Kampung Baduy Dalam yang sangat kukuh memegang adat serta tradisi hingga saat ini.

Jadi flashback ke awal Mei 2012 lalu, saat pertama kali saya ikut acara ngetrip ala backpacker ke Baduy Dalam bersama kawan-kawan dari doyanjalan. Saat itu pertama kali jumpai Safri, seorang pemuda warga Baduy Dalam beserta keluarga besarnya. 

Saya dan delapan orang teman dari Jakarta dijemput Safri yang membawa teman serta saudaranya Sapni, Sarta, Sadam, Ayah Safri yang bernama Pak Narja, Jali, dan lainnya yang saya lupa lagi namanya di Desa Parigi. Saya dan rombongan sebelumnya naik kereta ekonomi dari Stasiun Kota ke Rangkasbitung. Lalu meneruskan perjalanan ke Parigi, pertigaan ke Cijahe menggunakan angkot carteran.

Kami memang tidak menggunakan jalur umum yang biasa dipakai oleh para turis (baik asing maupun domestik) jika mau ke Kampung Baduy. Kami memakai jalan belakang, tepatnya melalui Cijahe, bukan melalui Ciboleger. Jalur ini kami dapat dari Safri sendiri, yang mana diinformasikannya kepada Ari, sang ketua rombongan kami kala itu, melalui SMS (short message service). Ya, SMS!

Kaget? Sama. Saya saat itu kaget dan tidak percaya. Orang Baduy dalam yang sudah pasti tidak bersekolah, tidak (bahkan menolak) berbagai fasilitas modern yang ditawarkan pemerintah dan kukuh memegang teguh adat serta tradisi para leluhurnya untuk hidup jauh dari kekinian, bahkan sebagian orang masih berpandangan kalau orang Baduy tidak mungkin bisa bahasa Indonesia, masa iya sih bisa SMS-an? Tapi itu nyata, kawan. 

Buktinya kami diberitahu Safri untuk turun di Desa Parigi, nanti dijemput melalui jalan Cijahe, ya lewat SMS. Ya, dan kami benar-benar mengalami semua itu. Hingga kami tak mengindahkan tawaran tukang ojek karena Safri menginformasikan via telepon kalau ia akan menjemput kami, jarak dari Parigi ke Cijahe tak lebih dari 3 Km.

[caption caption="Narsis di Cijahe. Dokpri"]

[/caption]Masih teringat sore itu bagaimana kami melewati sore hari dengan pandangan mata yang memanjakan. Gambaran alam desa berupa sawah, pematang, jalan berbatu yang belum diaspal serta bunyi serangga sore menjadi teman kami saat berjalan. 

Terlihat dari kejauhan bebukitan dengan warna hijau yang menyegarkan mata. Rumah penduduk masih jarang walau sebagian sudah modern dengan tembokan dan keramik.

Saat itu sinyal yang tertera di ponsel kami semua operator tak lebih dari dua bar saja. Itu pun lebih sering hilangnya. Wajar, sejauh mata memandang, tak tampak adanya pemancar BTS. Oh, ada satu, itu pun jauh dan katanya belum dioperasikan. Hahaha... Sekarang mungkin sudah bagus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline