Bagian pertama ada di sini [caption id="attachment_174641" align="aligncenter" width="300" caption="Bulan Madu Seru bag. 2 (dok. Okti Li)"][/caption] Keluarga terdekat mengatakan, saya dan Kang Iwan anak yang tidak mendengar nasihat orang tua. Mereka mengatakan hal itu berkaitan dengan keputusan kami melakukan "bulan madu" (Sebenarnya istilah itu kata orang sih, cuma akhirnya kami pakai juga, hehe!) ke Gunung Gede. Ya, sebenarnya orang tua kami melarang kami melakukan pendakian ke Gunung Gede, bukan hanya karena kami baru saja melangsungkan akad nikah, terlebih karena cuaca yang selalu tidak baik alias hujan terus-menerus. Khususnya di wilayah kami Cianjur Selatan. [caption id="attachment_174626" align="aligncenter" width="300" caption="Kabut, perkampungan tenda para pendaki dan edelweiss Surya Kencana (dok. Okti Li)"]
[/caption] Tapi kami tetap nekat. Kami percaya, ada banyak jalan di gunung yang bisa berujung pada kematian. Bisa saja karena jatuh ke jurang, tersesat, kena hipotermia, terlalu capek dan kelelahan, terkena serangan penyakit jantung, sampai karena kehabisan nafas atau oksigen. Bukan hanya saya dan Kang Iwan yang sebelumnya belum pernah mendaki, karena pendaki terhebat sekalipun yang didukung perhitungan matang bisa saja meninggal di gunung. Seperti Wakil Menteri Bapak Widjajono yang sudah digariskan hidupnya berakhir di Gunung Tambora, gunung api yang letusannya pada tahun 1815 mengguncang dunia. Bukankah sejak muda beliau sudah menjadi pendaki gunung yang handal? Tapi kami lebih percaya, jika kita benar-benar berusaha maka akan ada hasil yang akan kita capai. Dan kami merasakan lebih besar rasa kepenasaran untuk sampai di puncak gunung --mana pun. Apakah benar hanya karena sebuah kepenasaran? Mungkin saya dan Kang Iwan termakan sekian banyak bacaan yang berkaitan dengan seputar gunung dan pendakian. Seperti dituturkan Ernest Hemingway, penulis Amerika peraih Hadiah Nobel Sastra, (saya baca dari sebuah berita) yang menurut Ernest olahraga sejati hanya mendaki gunung dan adu banteng. "Yang lain hanya permainan," katanya. [caption id="attachment_174627" align="aligncenter" width="300" caption="Alun-alun Surya Kencana dan bunga edelweissnya (dok. Okti Li)"]
[/caption] Ada juga kesuksesan dalam bisnis, menurut Dick Bass --seorang pengusaha AS kaya raya, pemilik tambang batubara dan juga resor ski mewah-- tidak berarti banyak dibandingkan kenikmatan mencapai puncak-puncak tertinggi di dunia, kata Dick. Dick mendapat inspirasi untuk mendaki tujuh puncak tertinggi Bumi setelah mencapai puncak Denali tahun 1981. Bagi para pendaki, mungkinkah meninggal itu adalah sebuah resiko yang dianggap sepadan? Jika iya, maka kepenasaran saya dan Kang Iwan semakin besar. Seperti apa sih puncak gunung itu? Bagaimana sih rasanya setelah sampai di puncak yang kita tuju hingga kematian bisa saja direlakan hanya untuk sebuah pencapaian ke puncak? Semua itu tetap menjadi hal yang menggelitik hati kami. Ya. Sebelum saya dan Kang Iwan menginjakkan kaki di puncak sebuah gunung, penasaran serta 'pemberontakan' dalam hati tak akan kunjung reda. Pukul lima tiga puluh pagi ponsel yang batreinya tinggal dua bar membangunkan saya lewat ringtone alarmnya. Segera saya bangunkan juga Kang Iwan, karena niat semalam sudah sepakat, bangun pagi lalu menghirup udara Alun-alun Surya Kencana dan sukur-sukur bisa menemukan 'hal lain' yang tak terduga. Berrrrr!!! Saat resleting tenda saya buka, tiba-tiba saja angin dingin berhembus dan kembali membuat saya refleks mengerutkan diri. Tapi kalau kalah oleh dingin saja bagaimana bisa melihat hal yang luar biasa di luar sana? Akhirnya Kang Iwan yang mengalah. Ia terlebih dahulu ke luar lalu mencoba menyalakan api. Peralatan masak-memasak tim kami masih berserakan di depan tenda. Mungkin semalam Tebo dan teman-teman kecapaian. Setelah makan, mereka langsung tidur juga hingga tidak sempat membereskan peralatan masak dan perbekalan lainnya. Dalam teko kecil milik Odi, sudah berisi air putih yang dingin. Kang Iwan kembali memasaknya dengan tujuan mau menyeduh sereal coklat. Saya baru berani keluar tenda setelah Kang Iwan memastikan air sudah mendidih dan sebagian dituang ke gelas. "Pegang saja gelasnya, jadi bisa sedikit mengurangi rasa dingin," saya manut saja. Tapi benar juga, dingin perlahan mulai berkurang dan saya paksakan untuk berdiri untuk menatap sekitar yang masih remang-remang. Subhanalloh... Baru saya saksikan dengan jelas bagaimana hamparan tanah seluas 50 hektar ini dipenuhi warna-warni tenda dan berbagai macam bendera yang berkibar-kibar tertiup angin. Meski kabut kadang menutupi dengan tebalnya, tapi secepat itu pula angin membawanya menjauh sehingga pemandangan hamparan warna-warni tenda di bagian bawah sana tampak terlihat semakin indah. Setelah dingin bisa dikuasai, saya dan Kang Iwan berjalan menuju warna-warni tenda di bawah sana itu sambil membawa matras yang semalam dipakai alas tidur. Seperti keterangan yang disampaikan Odi semalam, sumber air berupa selokan kecil ada di bawah sana, "Jalan saja ke arah tenda-tenda itu, nanti ketemu selokannya." Benar saja, selokan dengan airnya yang sangat jernih seperti bongkahan es yang kami balutkan ke tubuh saat kulit ini menyentuhnya. Di pinggir selokan itu pula --tanpa tahu kemana arah kiblat karena matahari belum terlihat dari mana arahnya-- sholat subuh didirikan. Saya jadi teringat cerita Odi dan Tebo semalam saat mendirikan tenda. Mata air di Alun-alun Surya Kencana itu adalah mati hidupnya warga DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan sekitarnya. Saat Kang Iwan bertanya kok bisa begitu, Odi dan Tebo bergantian menjelaskan. Mereka bilang kawasan TNGGP adalah daerah sumber mata air untuk Ciliwung, Cisadane, dan beberapa sungai lain terkenal di Jawa Barat, Banten serta DKI. Jika sumber mata air di Surya Kencana ini kering, maka otomatis jutaan penduduk yang berada di Jabar, Banten serta DKI dan sekitarnya itu akan kekurangan sumber air bersih. Kekeringan, wabah bencana serta kematian. Aku bergidik membayangkannya. Dalam hati aku bertekat, akan terus berusaha untuk bisa menjaga lingkungan, tidak merusak hutan, dan meneruskan informasi tentang hal penting ini kepada teman-teman sekaligus mengajak mereka untuk ikut peduli. Ikut melestarikan alam yang sudah banyak mengalami kerusakan disana-sininya ini. Yah, walau saya akui hal itu teramat berat, tapi paling tidak dengan memulai dari diri sendiri serta mengajak orang terdekat untuk bisa mencintai alam serta lingkungan --contoh kecil dengan tidak sembarangan membuang sampah-- hal itu sudah menjadi tanda sebagai tanggung jawab kita sebagai mahluk di bumi untuk menjaga dan melestarikan alam. Saya jadi teringat sampah-sampah plastik serta botol-botol minuman yang berserakan sejak di pos pertama hingga di Alun-alun Surya Kencana. Duh, semoga kedepannya para pendaki itu semakin sadar dan mempunyai tanggung jawab untuk tidak membuang sampah khususnya plastik di dalam areal pendakian. Semoga ada kesadaran sendiri untuk ikut menjaga kelestarian hutan yang menjadi sumber air dan daerah tangkapan air demi masa depan anak cucu dan kelestarian hutan Indonesia. [caption id="attachment_174631" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber air di Alun-alun Surya Kencana (dok. Okti Li)"]
[/caption] Pulangnya, kami mengisi botol-botol semalam yang kosong. Meski sudah mencuci muka dan mencuci kaki, ajaib setelah itu rasa dingin yang sebelumnya sangat kuat kami rasakan justru seakan semakin berkurang. Malah terasa hangat menjalar di setiap pori-pori kulit saat kami berjalan sedikit menanjak kembali menuju tenda. Tiba di tenda, tim kami belum ada yang bangun. Dua tenda yang berhadap-hadapan dengan tenda yang semalam saya tiduri masih tertutup rapat. Saya kembali menghidupkan kompor, memasak air untuk membuat minuman panas. "Nasi uduk! Nasi Uduknya..." Kami mendengar suara laki-laki menjajakan nasi uduk dari arah tenda seberang. Ide selintas tiba-tiba datang. Saya bilang ke Kang Iwan mau membeli nasi uduk sebanyak 12 bungkus. [caption id="attachment_174632" align="aligncenter" width="300" caption="Porsi nasi uduk yang dijual di Surken (dok. Okti Li)"]
[/caption] Walau mengkerutkan dahi alias keheranan, Kang Iwan akhirnya menyetujui juga, lalu memanggil si pedagang nasi uduk yang katanya berasal dari kampung di sekitar Gunung Putri. Waw! Jauh banget kan ya? Dan pagi-pagi Si Emang itu sudah ada di Alun-alun Surya Kencana... "Cape sih, Neng. Tapi ya gimana lagi, namanya juga usaha," katanya seraya terduduk melepas ransel saat saya tanya bolak-balik dari kampung ke Alun-alun Surken setiap hari apa gak kecapean? Saat membuka tas ranselnya yang berisi nasi uduk, saya todong Si Emang dengan pertanyaan tentang sasakala yang ia ketahui tentang Gunung Gede. Luar biasa, Si Emang ternyata hafal di luar kepala! Katanya sesuai dengan cerita dari karuhun (nenek moyang) di Gunung Gede itu ada dua sesepuh yang sangat dikeramatkan oleh warga yaitu Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi. Rakyat mempercayai kalau kedua roh sesepuh tersebut selalu menjaga alam serta warga sekitar dari segala mara bahaya. "Menurut karuhun mah Neng, setelah meletus tahun 1957, Gunung ini teh tidak akan meletus lagi karena dijaga oleh dua karuhun itu," ucap Si Emang meyakinkan. Bahkan entah hanya selorohan Si Emang atau memang benar demikian adanya, dikatakannya pula Gunung Gede ini adalah tempat tinggalnya Eyang Sinto Gendeng guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Di gua-gua yang terdapat di seberang selokan itu banyak dikunjungi orang untuk mencari berkah dan selamat. Saya dan Kang Iwan tertawa-tawa mendengarnya. Rasanya lucu saja. Setelah saya borong 12 bungkus nasi uduknya, dan Si Emang pergi setelah mengucapkan hatur nuhun saya siapkan gelas plastik juga sebanyak 12 buah. "Buat apa sih?" tanya Kang Iwan. "Ssstt! Kita akan membuat resepsi pernikahan di Alun-alun Surken walau sederhana dan hanya untuk teman-teman satu tim kita saja," ucapku asal. Kang Iwan hanya melongo... Tebo yang pertama kali bangun serta keluar tenda. Mungkin ia terbangun karena obrolan saya dan tukang nasi uduk tadi. Langsung saya kasihkan sebungkus nasi uduk serta menanyainya mau minum apa? Walau Tebo melongo kebingungan, tapi tak urung ia melahap juga nasi uduk yang sudah dingin dan teramat sedikit untuk ukurannya itu. "Sisanya, ini buat teman-teman yang masih belum bangun, ya. Awas jangan ambil jatah lebih!" saya agak melotot sambil mengacungkan jari telunjuk. Kang Iwan dan Tebo sama-sama nyengir. Karena sudah ada Tebo yang bangun dan bisa dititipi menjaga api, saya dan Kang Iwan pamitan mau jalan-jalan melihat-lihat sekitar. Kami berkeliling mulai dari sebelah kanan tenda dahulu. Pohon edelweiss yang masih belum berbunga terhampar sepanjang mata memandang. Pada setiap ujung daunnya ada bening embun yang menggantung. Cantik sekali. Kami tak lupa mengabadikan moment ini dengan gaya narsis. Jika kami berhasil menyentuh pohon edelweiss di Alun-alun Surya Kencana, entah kapan lagi kami bisa kembali. [caption id="attachment_174634" align="aligncenter" width="300" caption="Sayang, ga boleh dipetik :( (dok. Okti Li)"]
[/caption] Saat titik air terasa mengenai tubuh kami, tadinya kami mau kembali ke tenda. Tapi ternyata itu bukan hujan, melainkan ambun yang 'terjatuh' karena tiupan angin. Sebentar ada, sebentar kemudian 'hujan buatan' itu hilang. Saat kami masuk ke semak-semak pohon Edelweiss, ya ampun! ternyata di bawah pohon itu berserakan sampah-sampah plastik! Ck! Ck! Ck!, kok bisa ya para pendaki meninggalkan sampah yang mereka bawa di tempat ini? Bukankah di pos pendaftaran/keberangkatan dan kepulangan sampah-sampah hasil perbekalan itu telah dicatat, lalu harus dikumpulkan dan dibawa turun? [caption id="attachment_174635" align="aligncenter" width="300" caption="Sampah plastik yang berserakan di bawah semak Edelweiss (dok. Okti Li)"]
[/caption] Selanjutnya, kami menyebrang selokan sumber air menuju 'perkampungan' para pendaki. Jika saat kami turun tadi suasana masih sunyi, kali ini keramaian sudah semakin terdengar. Bunyi nesting yang beradu, suara tawa para pendaki, harumnya bumbu dari mie instant serta wangi kopi/coklat semakin menyemarakkan pagi di tempat perkemahan para pendaki itu. [caption id="attachment_174636" align="aligncenter" width="300" caption="Pendaki yang tergabung dalam kelompok LARVA sedang mengadakan kegiatan pagi (dok. Okti Li)"]
[/caption] Sebagian para pendaki yang tergabung dalam kelompok serta ada panitianya, mereka kompak berolahraga bersama. Saya dan Kang Iwan terus berjalan menyusuri setiap tenda. Kadang kami merasa malu sendiri saat berjalan di belakang tenda, mendapati para pendaki yang tengah buang air kecil diantara semak-semak. Karenanya, kami berbelok berjalan menyusuri 'perkampungannya'. Kami mencari gua yang diceritakan oleh tukang nasi uduk. Sampai di lokasi gua yang dimaksud namun ga bisa masuk karena sudah 'tertutup' oleh dua buah tenda yang tepat berdiri di mulut gua. Mungkin mereka sengaja membuat tenda di mulut gua tersebut, jika angin kencang, di dalam gua pasti akan terasa lebih hangat. Sempat merasa tidak percaya saat di 'perkampungan' tenda ada beberapa anak kecil yang sedang bermain. Saat saya tanya, mereka berumur lima tahun, tujuh tahun dan sembilan tahun itu memang ikut mendaki bersama ayah, ibu dan keluarganya. Luar biasa, mereka sedari kecil sudah ikut mendaki gunung. Oh, betapa beruntungnya mereka. Sementara saya menginjak usia kepala tiga baru berkesempatan mendaki. Puas berkeliling hingga di ujung perkemahan dan kami mendapati tempat pembuangan sampah berupa bak yang dibentuk secara melingkar. Merasa semua sudah kami lihat, termasuk pergerakan kabut yang sangat cepat di balik tenda para pendaki kami kembali pulang ke arah tenda kami dari sebelah kiri. Sesampainya di tenda, semua teman-teman sudah pada bangun dan nasi uduk sudah tinggal bungkus-bungkusnya saja. [caption id="attachment_174637" align="aligncenter" width="300" caption="Tempat sampah umum di Alun-alun Surken (dok. Okti Li)"]
[/caption] Kami merasa bangga dan kagum saat mengetahui kalau Revo yang sejak kemarin menjadi bahan senyuman karena ulahnya itu ternyata menjadi juru masak tim kami. Revo yang memasak dadar telur, menggoreng nugget, dan membuat cemilan dari mie dicampur kornet. Harum dan enak sekali! Saya dan Tebo sambil bercanda memasak nasi, membuat sayur sup, membuat agar-agar dan selalu memasak air panas karena kecuali saya dan Kang Iwan mereka semuanya meminum kopi. Hingga semua hidangan matang, kami makan kembali bersama-sama. Tentu saja, nasi uduk yang sudah masuk ke perut kami itu masih sangat kurang banyak, hehehe! [caption id="attachment_175219" align="aligncenter" width="300" caption="Membuat agar-agar (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175223" align="aligncenter" width="300" caption="Pizza from noodle with beef made in Revo (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] Setelah selesai sarapan, kami langsung kemas-kemas barang, membongkar tenda dan siap-siap menanjak bukit di belakang tenda kami untuk mencapai puncak Gunung Gede. Kabut kembali menutupi langit alun-alun. Sebagian turun seperti rintik hujan. Namun tak lama hilang seiring tiupan angin kencang yang membawanya pergi. Melihat cuaca seperti itu, ditambah perut kenyang setelah makan, kami yang sudah mengepak tenda dan peralatan memilih duduk dan tidur-tiduran di atas rumput memandang langit yang sebentar cerah, sebentar berkabut. [caption id="attachment_175226" align="aligncenter" width="300" caption="Kami satu tim minus James yang memegang kamera (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] "Ayo, ah kita naik. Semakin pagi naik ke puncak semakin bagus," kata Odi. "Soalnya kalau sore, pemandangan tak jelas karena tertutup kabut." Ya, pagi-pagi saja kabut sangat tebal, apalagi sore? Pantas saja kalau dilihat dari jauh, dari kendaraan saat mau ke Jakarta atau Bandung misalnya, Gunung Gede selalu tertutup kabut, jarang sekali tampak keseluruhan hingga ke puncaknya walau pun matahari tengah bersinar cerah. Sebelum naik menuju puncak, kami kembali berfoto bersama. Menuju puncak, jalan yang kami lalui ibarat kali yang kering. Batu-batu yang menjadi pijakan kami, bukan tanah. Sepanjang pendakian pohon cantigi yang kerap dan berjejer rapat satu-satunya yang menjadi pelindung kami saat angin bertiup kencang. Saking kerasnya tiupan angin sampai suara bising bagai ribuan tawon yang menggulung di atas kepala kami. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada pepohonan pelindung itu. [caption id="attachment_174638" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan terjal berbatu ibarat sungai kering menuju Puncak Gede (dok. Okti Li)"]
[/caption] Iseng teringat semalam, saya bertanya kepada para pendaki yang turun dan berlawanan arah apakah ke puncak masih jauh? Jawab mereka kali ini pun hampir sama. "Sudah dekat, Mbak! Lima menit lagi juga sampai..." Saya dan kang Iwan tersenyum. Lima menit penyemangat, hehehe! Benar saja kami memakan waktu satu jam lebih untuk sampai di puncak dari estimate waktu lima menit yang mereka katakan. Tak sampai dua jam, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Gede. Subhanalloh... [caption id="attachment_174628" align="aligncenter" width="300" caption="Horee!! Akhirnya berhasil ke puncak! (dok. Okti Li)"]
[/caption] Tak tahu harus bagaimana saya melukiskan semua perasaan saat saya pada akhirnya berhasil menginjakkan kaki di Puncak Stratovolcano Gunung Gede yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir sejak tahun 1977 dengan segala pemandangannya yang sangat sangat sangat indah. Luar biasa. Allah Maha Besar... Kang Iwan sampai melakukan sujud syukur sekian lama, mungkin hatinya mengucapkan syukur yang tiada terhingga, alhamdulillah akhirnya cita-cita untuk menginjakkan kaki di atas ketinggian 2.958 mdpl tercapai. [caption id="attachment_174639" align="aligncenter" width="300" caption="Terimakasih Yang Maha Penguasa untuk segalanya... (dok. Okti Li)"]
[/caption] Panorama berupa pemandangan terdiri dari Gunung pangrango, Gunung Salak, hamparan kota Cianjur - Sukabumi - Bogor terlihat dengan jelas. Sungguh sebuah atraksi geologi yang menarik dan pertunjukan tumbuhan khas sekitar kawah yang sangat cantik. Akhirnya kami berhasil mendaki melalui zona submontana, montana, hingga ke zona subalpin di sekitar puncak. Bangga sebagai warga sekitar TNGGP yang mana hutan pegunungan di kawasannya merupakan salah satu yang paling kaya jenis floranya di Indonesia. Saya dan teman-teman berkeliling dari ujung sebelah kiri terus sampai di ujung sebelah kanan demi bisa melihat keseluruhan kawah yang masih aktif dalam satu kompleks. Sayang, saat saya bertanya yang mana kawah Lanang, yang mana kawah Ratu dan yang mana kawah Wadon tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan. Yang saya lihat dan saksikan di bawah sana hanya ada sekepul asap yang bersumber dari pinggir cairan yang berwarna biru. Hanya bau belerang memang terasa sangat kuat. [caption id="attachment_174640" align="aligncenter" width="300" caption="Kawah Puncak Gede dan Puncak Pangrango (dok. Okti Li)"]
[/caption] Saat berkeliling mengitari batu karang sepanjang lereng kawah itu banyak para pendaki yang mendirikan tenda di puncak itu. Diantara semak-semak cantigi mereka beristirahat sambil memandang hamparan luas sejauh mata memandang. Berbagai macam pose orang berfoto di puncak itu kami temui. Berbagai macam cara para pemegang kamera beraksi demi bisa mengambil gambar yang dikehendakinya juga kami temui. Bahkan kami bertemu para pendaki dengan carrier yang super panjang mereka sepertinya khusus melakukan pemotretan dengan latar puncak Pangrango. Komplit, selain kamera yang dipegang fotographernya, ada tiga orang pendaki lain yang bertugas memegang blitz dari berbagai arah. Luar biasa... [caption id="attachment_175211" align="aligncenter" width="300" caption="Kang Iwan, Batu Puncak Gede berlatar Pangrango (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175213" align="aligncenter" width="300" caption="Pagar Pembatas banyak yang rusak dan roboh (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175214" align="aligncenter" width="300" caption="Nungging demi bisa mendapatkan angel yang bagus (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175215" align="aligncenter" width="300" caption="Sesi Spesial Pemotretan di Puncak (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] Sepanjang jalan-jalan di tebing kawah itu saya harus sangat berhati-hati karena selain tanahnya terdiri dari pasir dan kerikil yang licin, pagar atau tali besi pengaman juga sudah pada rusak, rubuh, sehingga tidak ada batas untuk para pendaki melewati bibir kawah yang sangat curam dan berbahaya itu. Setelah cukup puas menghirup udara puncak dan menatap kawah, kami kembali berfoto bersama sebelum akhirnya berjalan menuruni puncak menuju pintu Cibodas. [caption id="attachment_175216" align="aligncenter" width="300" caption="Bulan Madu Seru di Puncak Gede (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175217" align="aligncenter" width="300" caption="Awan serasa begitu dekaaattt... (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175218" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis bersama satu tim, minus Revo yang pegang kamera (Dokumentasi Okti Li)"]
[/caption] Lewat duhur, awan mulai mendekat. Kabut perlahan tapi pasti menutupi permukaan kawah, puncak Pangrango, dan pemandangan yang indah sejak pagi tergantikan hamparan putih yang maha luas seperti tanpa ada batas. [caption id="attachment_175523" align="aligncenter" width="300" caption="Kabut mulai menutupi puncak, Odi alias Odong saya bidik tanpa dia tahu :-) (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Odi alias Odong dan Tebo menyarankan kami untuk segera bergerak menuruni puncak menuju ke sisi kiri. "Lokasi di Kandang Badak kecil, kita bisa kehabisan tempat untuk mendirikan tenda di sana," jelas Tebo saat saya tanya kenapa harus segera turun. Tak hanya tim kami saja, banyak pendaki lain yang terlihat terburu-buru turun juga. Bahkan tim keluarga yang membawa anak kecil mendaki itu pun mereka hampir bersamaan turun bersama kami menuju Kandang Badak. Sambil jalan, penasaran sangat kuat saya alami. Ingin segera tahu, Kandang Badak itu lokasinya seperti apa sih? [caption id="attachment_175524" align="aligncenter" width="300" caption="Menapaki kerikil dan karang, menuruni puncak (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Perjalanan turun kali ini menurut saya tidak melelahkan seperti saat kami naik kemarin. Walau ada lelah rasanya saya tidak ingin berhenti untuk beristirahat. Jalan yang menurun, diantara pohon cantigi dengan teksture alam yang sangat indah semakin membuat saya penasaran untuk segera mengabadikan semuanya lewat kamera alam pemberian Sang Pencipta sebelum gelap keburu menyergap. Mata saya tak sedikitpun ingin berpaling dari pemandangan alam yang sangat susah saya temui kalau tidak sedang naik atau turun gunung. Pucuk cantigi yang merah, batang-batangnya berjejer rapat menjadi penguat serta pegangan saat pendaki turun. Banyak dahan yang saking seringnya dipakai sebagai pegangan oleh para pendaki, sudah licin, lembut dan leucir (seperti diampelas saking seringnya dipegang). Beberapa buah cantigi yang matang saat saya cicipi terasa manis. Serta tonjolan batu dan karang yang terbentuk karena kejadian alam sedikitpun tak ingin saya berpaling memperhatikannya. [caption id="attachment_175525" align="aligncenter" width="300" caption="Saya cicipi buah cantigi ini manis, lho! (Dok. Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175526" align="aligncenter" width="300" caption="Pucuk cantigi yang sangat indah (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Yah, saat naik kemarin kan gelap hanya bercahayakan senter dan sinar bulan. Terus lokasi serta vegetasi yang dilalui juga lain. Maka kesempatan saat terang waktu menurun ini sama sekali tak ingin saya sia-siakan. Termasuk mengabadikan lewat kamera supaya bisa berbagi semua hal yang luar biasa ini kepada teman-teman semuanya. Kami beberapa kali berpapasan dengan orang asing. Saya jadi teringat orang Korea yang kemarin mendaki bareng dan menyusul kami. Stamina mereka (orang asing) sangat baik. Sepertinya sedikitpun mereka tidak terlihat lelah walau tanjakan yang dilalui sangat curam. [caption id="attachment_175527" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis sama orang Jerman (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Hingga pada suatu pertigaan yang agak landai, Tebo serta Odi yang sudah jalan lebih dahulu terduduk tengah menunggu kedatangan kami. "Kita mau lewat Tanjakan Setan atau enggak?" tanya Odi. "Kalau enggak, bisa ambil jalur kiri, cuma bakal agak panjang karena sedikit memutar." Hah? Tanjakan Setan? Bukannya takut mendengar nama tempat itu, yang ada saya justru penasaran dan segera ingin melihat seperti apa tempat yang dinamakan Tanjakan Setan itu. [caption id="attachment_175528" align="aligncenter" width="300" caption="Mas Ary menuruni Tanjakan Setan (Dok. Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175529" align="aligncenter" width="300" caption="Mas Ary di tengah Tanjakan Setan (Dok Okti Li)"]
[/caption] Semua mata teman-teman mengarah kepada saya. Mungkin mereka pikir karena saya satu-satunya perempuan diantara mereka, dikhawatirkan saya tidak berani melalui tempat itu. "Lewat Tanjakan Setan saja. Masa mendaki Gede gak lewat Tanjakan Setan nanti malah makin penasaran, lagi..." ucap saya mantap. "Yess!" Mas Ary mengacungkan tangannya. "Sip! Bener, Mbak..." timpal Odi alis Odong. "Tuh, Vo... Si Mbak aja berani lewat Tanjakan Setan, masa elo kagak?" ucap salah seorang teman yang lainnya sambil menonjok bahunya Revo. "Okelah, ayo lewat Tanjakan Setan aja. Gue juga pengen tahu, kok!" balas Revo. Sepakat, kami menuju arah Tanjakan Setan. Batu-batu serta karang yang kami lewati habis di bibir jurang yang didominasi pohon-pohon yang menjadi pagangan. Oh, ternyata ini yang dinamakan Tanjakan Setan? Batin saya saat sampai di sebuah tanjakan yang sangat curam dengan beberapa tambang sebagai alat pegangan para pendaki. Untuk menuruni tanjakan ini, pendaki turun satu persatu dan ransel yang berat serta besar sebaiknya dioper kepada teman-teman supaya tidak mengganggu. Tas besar dan sangat berat milik Kang Iwan diambil alih oleh Tebo. Sementara tas saya sudah diambil oleh teman-teman lain yang sudah lebih dahulu turun. Saat saya turun, beberapa orang telah berjaga-jaga menunggu saya di bawah. Sementara di atas masih ada Kang Iwan, mas Ary serta Odi. Alhamdulillah, saya bisa menuruni Tanjakan Setan tanpa bantuan siapapun! Sayang saat saya turun itu tidak ada yang mengambilkan foto karena kameranya masih ada di saya serta satunya lagi dipegang Mas Ary. Saat Giliran Odi turun, entah kenapa tiba-tiba Odi berteriak minta tolong. Tentu saja kami yang sudah tenang di bawah menjadi khawatir. Tebo serta James langsung naik lagi, termasuk Mas Ary yang baru turun setengahnya. "Kaki Odi kena kram," teriak Mas Ary. Mereka membantu Odi naik lagi dan setelah kaki Odi agak baikan mereka bersama-sama menuruni Tanjakan Setan. Beruntung kami menemukan tongkat (mungkin milik pendaki lain yang terlupa) sehingga tongkat itu bisa digunakan Odi yang jalannya masih agak terpincang-pincang. Karena Odi tidak bisa berjalan cepat sementara gelap sebentar lagi datang, Tebo yang memutuskan terlebih dahulu jalan untuk mencari lokasi tenda di Kandang Badak. Kami tiba di lokasi Kandang Badak saat pukul tujuh malam. Suara air yang menggelegar menandakan perkemahan sudah dekat. Benar saja, tenda-tenda mulai terlihat diantara rapatnya akar-akar pohon yang menjulang tinggi. Saya dengar pembicaraan teman-teman kalau lokasi untuk mendirikan tenda hanya cukup untuk dua buah tenda saja. Tentu saja hal itu tidak mengenakkan kami. Sempat juga terdengar ide untuk melanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda di Kandang Batu. Tapi setelah Tebo berbicara dengan beberapa orang pendaki yang sudah terlebih dahulu mendirikan tenda di sekitar situ kami bisa mendirikan tiga tenda walau sangat berdempet-dempetan. Untuk sholat saja kami harus mencari tempat agak jauh dari lokasi tenda. Saat membersihkan diri, di sisi sumber air yang sangat besar itu berdiri sebuah bangunan yang gelap dan cukup menakutkan seperti bangunan tua atau rumah hantu gitu. Hanya bercahayakan senter yang sudah mulai habis batreinya saya tak bisa melihat jelas bangunan apa itu. [caption id="attachment_175530" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber air di Kandang Badak setelah dipasang pancuran dan tatapakan (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Di Kandang Badak itu pula, suara petir beberapa kali kami dengar cukup menakutkan. Diperkirakan malam itu akan turun hujan besar. Para pendaki mengantisipasinya dengan melapisi tenda dan membuat saluran air di sisi-sisi tenda. Tapi alhamdulillah, sepanjang malam itu hujan tidak turun. Pagi harinya, saat kami kembali ke sumber air baru terlihat dengan jelas kalau bangunan di samping sumber air itu adalah bangunan menyerupai rumah yang sudah tidak dipergunakan. Kosong. ada tulisan Kandang Badak di depan bangunan itu. Sumber air sangat besar, tapi membuat kami agak kesulitan untuk mencuci muka karena bisa dipastikan tubuh kami akan basah semua kena cipratan air. Saat di sekitar sumber air terdapat beberapa batang paralon/pipa Kang Iwan berinisiatif membuat dan memperbaiki pancuran. Para pendaki lain yang hendak mengambil air dan cuci muka terpaksa menunggu Kang Iwan selesai membuat pancuran. Berhasil, pancuran telah terpasang. Kang Iwan pun membetulkan beberapa batang kayu yang tak beraturan menjadikan pijakan di sekitar pancuran. Sehingga kini yang hendak cuci muka maupun mengambil air tak perlu berbasah-basahan karena ada batangan kayu itu dan air yang diambil sudah tinggal memasukkan ke dalam botol (tak perlu menciduk). Setelah selesai 'bermain air' kami masuk ke bangunan yang bertuliskan Kandang Badak itu. Ternyata di dalam bangunan ada dua buah tenda para pendaki yang sudah berdiri. Padahal lokasinya di situ sangat becek lho! Ih, kok mereka mau mendirikan tenda di situ ya? Saat itu kami juga mendengar ada seseorang yang menjajakan nasi uduk. Rupanya penjual nasi uduk di Kandang Badak pun ada. Saya mengajak ngobrol Si Emang pedagang nasi uduk yang berasal dari perkampungan sekitar Cibodas itu. Bertanya asal usul mengapa daerah itu dinamakan Kandang Badak, benarkah dulunya bangunan ini kandang tempat badak? "Dulu, memang ada badak dan bangunan ini dibangun oleh para ranger," jelas Si Emang. Belum selesai Si Emang bercerita, tiba-tiba ada pendaki yang memanggil-manggil Si Emang. Bukan mau membeli nasi uduknya, melainkan mau meminta tolong untuk menggotong tandu! Ternyata ada pendaki yang keseleo kakinya, dan ia (perempuan) tidak bisa melanjutkan perjalanan. Jalan akhir yang ditempuh teman-teman satu timnya adalah kembali ke Cibodas untuk segera membawa teman yang keseleo itu berobat. [caption id="attachment_175531" align="aligncenter" width="300" caption="Dua orang penjual nasi uduk harus turun sebelum dagangannya habis, demi bisa menyelamatkan pendaki yang sakit (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Sambil memasak air untuk membuat teh, saya berpikir betapa sangat tinggi tanggung jawab serta solidaritas sesama para pendaki. Pendakian harus digagalkan meski sudah setengah jalan demi keselamatan sesama satu tim. Saya jadi teringat ucapan Tebo saat Kang Iwan kram kaki dan teman lainnya membantu membawakan tas saat mendaki lewat Gunung Putri. Luar biasa, sebuah rasa, atau tanggung jawab, --atau apalah namanya yang tepat-- yang baru pertama kali saya temukan saat melakukan pendakian ini. Perasaan kasih serta tanggung jawab terhadap sesama, terhadap alam serta loyalitas yang sangat tinggi. Suatu hal yang tidak mungkin saya temukan dan sadari kalau saya tidak 'bergaul' dengan teman-teman pendaki gunung. Terimakasih, Tuhan. Engkau telah memberikan jalan untuk saya hingga bisa mendaki dan bertemu orang-orang yang menjunjung tinggi rasa tanggung jawab serta loyalitas. Setelah sarapan pagi, kali itu Revo memasak habis semua perbekalan karena diperkirakan sore itu kami akan sampai di Cibodas. Saya sempat jalan-jalan mengelilingi lokasi perkemahan Kandang Badak. Bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan anak kecil yang sejak hari jumat ikut mendaki bersama keluarganya, hingga berkenalan dengan teman-teman Tebo yang sangat banyak. Sepertinya Tebo yang memang ramah dan pandai bergaul itu kenal dengan pendaki manapun yang kami temui di sepanjang jalan. Saat kami hendak berangkat, tiba-tiba hujan turun. Awalnya kami pikir itu hanya embun seperti di Puncak Alun-alun Surya Kencana kemarin, ternyata bukan. Itu memang hujan. Teman-teman yang baru turun dari Pangrango juga mengatakan itu memang hujan karena dari puncak Pangrango sudah terlihat bakal hujan dari arah Cibodas. [caption id="attachment_175534" align="aligncenter" width="300" caption="Bercanda bersama balita di Kandang Badak sebelum hujan (Dok. Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175535" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis manis di Kandang Badak sebelum hujan (Dok. Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175536" align="aligncenter" width="300" caption="Hujan-hujanan meninggalkan Kandang Badak (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Tak mungkin terus-terusan berteduh, kami melanjutkan perjalanan meski hujan turun cukup deras. Saya teringat pada Si Emang penjual nasi uduk yang sudah turun lebih dulu mengusung tandu pendaki yang sakit. Duh, pasti mereka sangat kesusahan melewati jalan yang sangat licin, belum dengan beban berat membawa orang sakit. Semoga Si Emang dan rombongan selamat. Selama perjalanan menurun itu kami ibarat berjalan melewati sungai berbatu karena jalan yang dipijak penuh dengan air. Tak jarang kami harus menaiki pohon yang tumbang menghalangi jalan, membungkuk atau merangkak karena pohon itu tidak bisa dilewati. [caption id="attachment_175537" align="aligncenter" width="300" caption="Banyak pohon tumbang (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Dalam perjalanan, kami melewati Curug Leutik (Air Terjun kecil, begitu keterangan yang saya dapat dari Odi) kami sempat berfoto dan main air di lokasi itu. Mendekati lokasi Kandang Batu, hujan reda menyisakan becek dan kabut. [caption id="attachment_175539" align="aligncenter" width="300" caption="Di Curug Leutik dijepret Odi (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Tak berapa lama kami mendekati lokasi Air Panas. Banyak para pendaki yang mandi di air hangat itu. Saat berjalan melewati lokasi Air Panas hujan kembali datang dengan lebatnya. Kami harus ekstra hati-hati berpegangan pada seutas tambang di sisi kiri jalan. Sementara di sisi kanan adalah air terjun air panas yang airnya benar-benar panas. Sampai kabut hawa panas itu menutupi pandangan kami. [caption id="attachment_175540" align="aligncenter" width="300" caption="Lokasi Air Panas Hujan turun lagi (Dok Okti Li)"]
[/caption] Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa, air panas dan air dingin berdampingan mengalir. Bodoh banget kalau kita sebagai warga negara Indonesia menyia-nyiakan harta kekayaan alam yang tak ternilai harganya itu. Banyak turis yang masih muda dan mereka perempuan melakukan perjalanan dari Cibodas ke Air Panas itu dengan berjalan kaki cukup cepat. Mereka sangat antusias dan senang, seperti tak merasakan kelelahan. Tidakkah kita sebagai generasi muda bangsa lebih bersenang diri? [caption id="attachment_175541" align="aligncenter" width="300" caption="Kalah cepat oleh turis muda (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Puas berada di lokasi Air Panas dan hujan semakin deras, kami melanjutkan perjalanan lagi. Orang-orang semakin banyak kami temui, bukan hanya para pendaki gunung, melainkan juga mereka yang datang ke lokasi Air Panas Cibodas, Panyangcangan, dan sekitarnya. Kembali dalam hujan kami harus berhati-hati karena banyak pohon yang tumbang, menghalangi jalan bahkan ada yang tidak bisa kami lewati dan kami harus memutar. Pohon-pohon anggrek hutan banyak berserakan di sepanjang jalan. Hingga akhirnya kami sampai di lokasi pertigaan Air Terjun Cibeureum. Banyak sekali orang di situ, bercampur antara para pendaki, pengunjung Air Panas, Panyangcangan, pengunjung Air Terjun Cibeureum dan lokasi wisata sekitar lainnya. [caption id="attachment_175542" align="aligncenter" width="300" caption="Sebelum basah-basahan (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Tim kami beristirahat di pos itu. Saya dan Kang Iwan menyempatkan diri ke lokasi Air Terjun Cibeureum yang berjarak hanya 300 meter dari pos tempat kami istirahat. Air terjun dengan ketinggian 50 meter itu seperti mengepul terlihat dari kejauhan. Awalnya Kang Iwan tidak akan berbasah-basahan di Air Terjun Cibeureum itu, tapi saat berfoto, tak kami sangka air itu tertiup angin dan membasahi kami. Kepalang basah, Kang Iwan mencebur langsung sekalian di bawah air terjun yang banyak dikunjungi oleh pasangan dua insan itu dan pulang menuju pos dengan keadaan basah kuyup. Dalam perjalanan turun menuju Pintu Cibodas, kami melewati beberapa lokasi wisata lainnya yang tak kalah menarik yaitu Telaga Biru, danau dengan luas sekitar lima hektar ini selalu terlihat berwarna biru dikarenakan ganggang biru yang menutupinya. [caption id="attachment_175543" align="aligncenter" width="300" caption="Luasnya sekitar 5 ha (Dok Okti Li)"]
[/caption] Lokasi Penangkaran Burung; yang mana TNGGP terkenal akan berbagai jenis burung. Sekitar 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa ada di TNGGP ini. Beberapa jenis di antaranya merupakan burung langka yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae). [caption id="attachment_175545" align="aligncenter" width="300" caption="Iseng sambil jalan 1 (Dok. Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175546" align="aligncenter" width="300" caption="Iseng sambil jalan 2 (Dok. Okti Li)"]
[/caption] [caption id="attachment_175547" align="aligncenter" width="300" caption="Iseng sambil jalan 3 (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Sore hari pukul tiga lewat saat cuaca terasa cukup cerah kami sampai di Pintu Cibodas. Alhamdulillah, kami selamat mendaki dan menuruni TNGGP. Saya mungkin menjadi orang yang kesekian jutanya dari C.G.C. Reinwardt sebagai orang pertama yang berhasil mendaki TNGGP pada tahun 1819. Kami langsung menuju basecamp para pendaki di Cibodas milik Mang Idi. Di basecamp itu kami bertemu dengan sesama pendaki baik yang baru turun maupun yang akan naik. Kami membersihkan diri lalu beristirahat sambil makan di kios yang banyak ditempeli foto-foto para pendaki. Di dinding banyak ditulisi 'kenang-kenangan' dari sekian banyak pendaki hingga tak bisa dibaca keseluruhan dalam tempo yang sangat singkat. Di basecamp itu pula saya dan Kang Iwan berpisah dengan sepuluh orang teman dari Jakarta yang telah sehidup semati selama melakukan pendakian dari Gunung Putri hari jumat lalu. [caption id="attachment_175548" align="aligncenter" width="300" caption="Kang Iwan di basecamp Cibodas milik Mang Idi (Dok. Okti Li)"]
[/caption] Terimakasih wahai timku, tulisan ini saya dedikasikan untuk kalian. Mas Ary, Tebo, Odi, Revo, James, dkk. Terimakasih banyak atas pertemanan, ilmu serta pengalaman yang sangat berharga selama ini. Bila bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, demikianlah apa yang saya dan Kang Iwan alami. Meski rintangan selalu ada dan menggagalkan rencana-rencana pendakian sebelumnya namun pada akhirnya niat itu kesampaian juga. Dan bahkan, ibarat ketagihan, kami berencana untuk ikut melakukan pendakian selanjutnya di beberapa gunung di Pulau Jawa. . . . Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [National Park] Jl. Raya Cibodas, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Indonesia 43253 Tel/Fax: +62-263-512776 [office] | Tel/Fax: +62-263-519415 [booking] Email: info@gedepangrango.org [office] | booking@gedepangrango.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H