Lihat ke Halaman Asli

Okti Li

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

Mengalah atau Kalah (yang sebenar-benarnya) Rutinitas Ramadhan Buruh Migran Indonesia di Taiwan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengalah atau Kalah (yang sebenar-benarnya) Rutinitas Ramadhan Buruh Migran Indonesia di Taiwan

[caption id="attachment_128538" align="aligncenter" width="640" caption="Taiwan"][/caption]

Menjalankan puasa di negara non muslim seperti Taiwan, pasti memiliki tantangan tensendiri. Terlebih bagi mayoritas WNI yang berstatus buruh migran, status yang identik di mata awam dengan pekerjaan kasar atau rendahan. Lain ladang lain belalang, lain Indonesia lain pula di Taiwan.

Kalau di tanah air ada istilah toleransi beragama; non muslim menghargai dan menghormati muslim yang tengah menjalankan puasa, di Taiwan justru kebalikannya. Kami, para buruh migran muslim ini yang mengabdi (bekerja) kepada majikan non muslim yang harus menghargai dan menghormati mereka. Meski tengah menjalankan puasa jangan pernah bermimpi mengharapkan adanya toleransi dari warga Taiwan yang mayoritas tidak tahu apa itu Islam, apa itu puasa.

Jangan heran jika seorang pekerja penata laksana rumah tangga (PLRT) dan atau perawat rumah tangga meminta izin (sekedar memberitahukan) akan menjalankan puasa, alih-alih diizinkan, yang ada (banyak terjadi) justru pelarangan!

"Tuhan kamu gila ya? Masa gak boleh makan dan minum? Apa bukan nyuruh mati itu namanya?"

"Ini Taiwan, bukan kampungmu. Kamu di sini kerja, perlu tenaga. Kalau kamu tak makan dan minum, lalu mati, bagaimana? Bukannya aku yang jadi repot? Kalau mau puasa nanti saja di Indonesia, jangan di sini (Taiwan)."

"Jangan puasa. Gak apa-apa kok. Tuhan kamu kan di Indonesia, di rumahku tidak ada Tuhanmu. Dia pasti tidak akan tahu."

Itu hanya sebagian kecil kalimat pedas yang diucapkan majikan kepada pekerjanya yang hendak berpuasa. Pada kenyataannya, masih banyak kalimat lain yang lebih pedas dari itu tentang pelarangan berpuasa kepada pekerja muslim. Kurang-kurangnya kuat mental bisa dibayangkan seperti apa menggunungnya emosi dan amarah. Belum apa-apa sudah lebih dulu diuji dengan kalimat yang bikin hati panas begitu. Bagaimana tidak? Sebagai muslim siapa yang tahan dengan kalimat pedas seperti itu? Tapi mau bilang apa, semua itu jelas karena mereka tidak tahu apa itu Islam, apalagi soal puasa.

Saat bahasa setempat tak begitu fasih juga kemampuan untuk menerangkan secara etimologi tidak ada, akhirnya kebanyakan pekerja hanya memilih diam meski hati sudah digerogoti perasaan jengkel. Pada puncaknya, ada pekerja yang ngotot mempertahankan keinginannya untuk berpuasa walau dilarang majikan (ada yang sampai harus sembunyi-sembunyi), ada pula yang manut begitu saja, dalam arti tidak menjalankan puasa wajib ini dengan dalih "Tidak diperbolehkan puasa oleh majikan."

Ini semua tentunya kembali kepada pemikiran dan konsekuensi masing-masing. Yang tidak berpuasa mempunyai resiko (hablum minalloh) yang berpuasa juga ternyata justru berlipat-lipat resikonya.

Diperlukan strategi dalam mengambil hati majikan supaya mau membiarkan pekerjanya berpuasa. Memilih kata yang tidak menggurui, juga tidak menepuk dada merasa kita (muslim) benar sendiri.

"Saya sudah terbiasa melakukan puasa sejak kecil. Di sini saya tahu bekerja berat, jika saya tidak kuat, saya tidak akan memaksakan diri."

Biasanya kalimat itu yang diucapkan jika ada orang Taiwan melarang berpuasa berkaitan dengan pekerjaan kami yang memang tergolong berat. Walau mengkhawatirkan pekerjaan akan terganggu (karena pekerjanya berpuasa) setelah mendengar kalimat itu mereka tak lagi banyak bicara. Meski senyum sinis dan tatapan cemooh itu tak hilang jua dari wajah-wajah mereka.

Islam sebenarnya agama yang diakui oleh Taiwan, terbukti dengan adanya enam masjid yang dibangun menyebar di lima kota berbeda. Dua di Taipei, 1 di Cungli, 1 di Taichung, 1 di Tainan, dan 1 di Kaohsiung. Akhir-akhir ini pun pemerintahan Taiwan di bawah kepemimpinan Ma Ying Jeo, cukup gencar "memperkenalkan" Islam kepada warga lokal, sehubungan dengan pemberitaan setahun silam; pemaksaan mengkonsumsi babi kepada pekerja Indonesia muslim oleh majikan Taiwan.

Tapi meski demikian, masih banyak warga Taiwan yang belum bisa membuka diri, belum dapat memahami perbedaan keyakinan. Pada umumnya orang tua di Taiwan ngotot, tidak makan tidak minum saat sia tien (musim panas) itu berbahaya. Pekerja bisa mati, mereka rugi.

Tinggal di negara non muslim, aktivitas masyarakat walau saat Ramadhan tetap normal seperti bulan biasa. Tidur, waktu kerja, kondisi di rumah majikan dan luar rumah majikan semua tetap mengacu pada pola hidup kebiasaan penduduk Taiwan pada umumnya.

Jika di Indonesia waktu sahur yang tidak hendak bangun pun bisa terbangun. Suara dari speaker masjid bisa terdengar dimana-mana. Tapi di negeri Formosa, yang membangunkan kami cukup alarm dan atau sms/telepon dari teman/saudara. Justru kebalikannya, pekerja sebisanya waktu sahur jangan sampai membangunkan majikan. Padahal kita tahu, rumah di Taiwan kecil-kecil. Menyalakan lampu dan beraktivitas di dapur, penghuni rumah lain pasti mendengar.

Menyikapinya, cukup banyak cara. Ada yang mempersiapkan makanan siap dikonsumsi dari kemarin sore, hingga waktu sahur tak perlu repot, tinggal makan saja. Ada yang cukup makan telur rebus yang sudah dipersiapkan siang hari, yang ini malah bisa makan di kamar. Tentu saja extra hati-hati juga, orang Taiwan sangat jeli terhadap higienis dan kebersihan.

Banyak juga pekerja memilih tidak sahur sama sekali. Jarang pekerja tidur dalam kamar seorang diri, paling tidak bersama anak-anak majikan dan atau satu kamar dengan pasien yang dirawat. Karenanya daripada membangunkan mereka, banyak yang memilih tidak bangun sekalian. Mungkin hal itu juga disebabkan kelelahan ketika siang harinya bekerja terus-terusan. Jadi malam memilih istirahat sepenuhnya.

Siang hari, walau bulan puasa orang-orang tetap makan dan minum seperti biasa. Pagi-pagi tetap harus memasak dan menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga majikan. Yang beruntung jika satu rumah hanya dihuni oleh si pekerja dan pasien yang dirawatnya. Paling tidak, si pekerja bisa mengatur sendiri semuanya.

Sementara di luar sana tempat hiburan, restaurant, segala macam juga tetap buka.

Orang Taiwan lumrah jalan-jalan maupun di televisi berpakaian minim, apalagi saat ini musim panas, saat mereka memakai baju more than you can see. Sebagai perempuan,saya risih sendiri melihatnya. Bagaimana jika dilihat dari sudut pandang kaum lelaki? Mungkin bisa dibilang anugerah, mungkin juga sebuah musibah. Semua kembali kepada diri masing-masing.

Meski tidak ada kesan Ramadhan, namun hal tersebut tidak mengurangi kekhusyukan bagi kami yang berpuasa. Justru, berpuasa di negeri Formosa ini memiliki makna tersendiri karena kami mendapatkan langsung esensi dasar nilai berpuasa, yakni menahan nafsu/amarah dan menghargai orang lain.

Jika di tanah air saat belajar di sekolah yang selalu ditekankan oleh guru adalah: hargailah orang yang sedang berpuasa; jangan makan minum di depan orang yang puasa. Di sini justru kami yang puasa yang harus menghormati orang Taiwan yang tidak berpuasa.

Seperti kata Pak Junanto, "Orang berpuasa tidak boleh menyulitkan mereka yang tidak berpuasa, apalagi meminta fasilitas dan perhatian khusus karena kita berpuasa." Itu benar sekali adanya.

Tidak ada mentang-mentang sedang berpuasa, lalu tidak masak, tidak memegang daging babi serta turunannya, dan tidak menyiapkan makan untuk orang rumah.

Tidak ada mentang-mentang sedang berpuasa, lalu tidak membawa pasien ke taman atau jalan-jalan untuk terapi olah raga, tidak antar jemput anak majikan les saat matahari menyorot terik-teriknya membuat baju basah banjir keringat.

Tidak ada alasan lemas karena sedang berpuasa lalu jadi asal-asalan bekerja.

Beuh, kalau begitu adanya, telak kita menjadi pihak yang kalah dalam arti sebenar-benarnya. Larangan berpuasa jelas-jelas akan mereka pasang kuat. Bukankah mereka melarang berpuasa karena mereka takut pekerjanya tidak bisa kerja?

Disinilah ujian yang sebenar-benarnya kepada orang yang berpuasa di Taiwan tengah berlangsung. Saat haus dan lapar melanda, pekerjaan berat yang memerlukan tenaga seperti membopong pasien (pao ping ren) baik dari ranjang ke kursi roda, maupun dari rumah lantai lima turun-naik tangga ke lantai dasar karena tidak ada lift; membalik badan (fan sen) sekaligus tepuk pundak sebelum sedot dahak (chou than), dan pekerjaan berat lainnya di pabrik maupun di kapal (untuk ABK) mau tidak mau, kuat tidak kuat orang berpuasa sebisanya harus mampu melewatinya.

Saat menghadapi anak majikan yang rewel, bandel atau menjengkelkan, begitu juga saat menghadapi pasien yang melelahkan, sikapnya tak beda dari anak-anak (pikun), saat menghadapi sifat majikan yang temperamental, cerewet, judes, ringan tangan (biasanya kapten kapal atau mandor pabrik) saat itulah amarah dan kesabaran orang berpuasa benar-benar dipertaruhkan.

Apalagi cuaca di Taiwan bulan ini masih berada di musim panas, orang berpuasa harus tahan menyaksikan mereka yang sesuka hati meneguk minuman dingin kapan dan dimanapun. Bukankah puasa hakikatnya bukan sekedar menahan haus dan lapar, tapi juga kesabaran, nafsu dan amarah? Apa yang didapat jika mendapatkan situasi pekerjaan yang menjenjengkelkan lalu kita ikut jengkel (tidak bisa menahan sabar)? Bukankah orang puasa seperti itu termasuk yang merugi karena hanya kebagian haus dan lapar saja? Sungguh sayang beribu-ribu kali sayang, bukan?

Berpuasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tapi juga mampu menahan emosi, disitulah kami di Taiwan merasakan sebenar-benarnya hakikat puasa dalam menahan segala coba. Saat berpuasa di tanah air/kampung sendiri, belum tentu kami mendapatkan ujian seperti itu.

Di rantau pun jika bukan pekerja kasar seperti kami sebenarnya tak kan merasakan betapa tinggi dan berat godaan puasa. Ya, kerja dalam ruangan full AC, santai dan tak banyak berhadapan dengan hal-hal yang memancing emosi bukankah itu mah sama saja seperti puasa di mata anak-anak: menahan haus dan lapar saja?

Saat waktu sholat tiba, kami bukannya menyegerakan sebagaimana harusnya, tapi kami justru menunggu pekerjaan selesai dulu. Waktu duhur, bertepatan dengan kesibukan makan siang majikan, maka itulah dulu yang diutamakan. Merawat pasien, memomong anak, itulah pekerjaan yang didahulukan. Baru setelah semua rapi; majikan istirahat, pasien dan atau anak tidur siang, kami berkesempatan melaksanakan kewajiban sholat. Demikian juga waktu ashar dan lainnya.

Saat berbuka puasa, jangan dikira kami bisa bersantai seperti kebiasaan orang di Indonesia. Magrib di Taiwan, terlebih bulan ini bulannya liburan sekolah, justru jadi waktu sibuk dan efektif. Banyak majikan yang makan di luar membawa pekerjanya. Hal ini bukan berarti enak karena tidak masak, justru bagi kami kesulitan berlipat yang di dapat. Ada pula sore hari menjelang magrib pekerja harus keluar antar jemput anak majikan les. Terbayang bagaimana repotnya.

Sudah capek sepanjang perjalanan mengurus pasien atau anak majikan (kami tidak mungkin dibawa keluar tanpa mereka) ditambah belum tentu saat buka puasa sudah langsung bisa makan. Pekerja pintar, biasanya selalu membawa bekal air minum dan cemilan sendiri untuk berbuka. Tiba waktunya makan, kami ekstra hati-hati lagi. Tahu sendiri Taiwan itu negara non muslim. Hampir semua masakan di luar (kecuali khusus vegetarian) dipastikan terkontaminasi babi (minyak, daging, sup dll). Untung jika majikan pengertian, jika tidak, apa si pekerja berani menawar (pilih-pilih) menu makanan yang telah terhidang?

Bagaimana perasaannya siang mati-matian puasa menahan haus, lapar dan kesabaran, giliran berbuka makan makanan yang tidak halal?

Kalau begitu, enak yang bekerja (masak) di rumah, dong? Belum tentu juga. Walau masak di rumah kita bisa memastikan mana yang halal mana yang tidak, tapi waktu berbuka juga belum tentu bisa langsung makan sepuasnya seperti saat kita di Indonesia. Orang Taiwan, pada umumnya menyantap makanan selagi hangat/panas/baru dimasak. Majikan hendak pulang kerja, barulah kita memasak. Mereka tiba di rumah, tepat saat makanan selesai di masak. Waktu makan tiap rumah berbeada-beda, ada yang sebelum waktu berbuka, ada yang lewat dari waktu kita buka puasa. Kapanpun masaknya, sebagai pekerja sebaiknya punya minuman/cemilan sendiri sebagai pembatal puasa.

Kenapa begitu? Jika sang majikan memperbolehkan pekerjanya makan lebih dulu, itu tidak masalah. Tapi jika majikan memberikan aturan makan harus sama-sama (malah ada yang memberikan aturan pekerja baru boleh makan setelah majikan selesai makan) itulah kenapa kita harus punya minuman/cemilan sendiri.

Melaksanakan sholat tarawih maupun lainnya, tentu saja harus seizin majikan. Andai dizinkan pun tentu saja setelah pekerjaan selesai. Pasien telah istirahat, anak-anak sudah tidur, pekerjaan rumah tidak terbengkalai.

Tarawih di masjid juga dilakukan secara tenang dan tidak mengganggu masyarakat. Sholat tarawih di enam masjid besar atau mess pabrik tidak menggunakan speaker hingga terdengar ke luar. Cukup terdengar di dalam ruangan saja. Dengan demikian non muslim di sekitar tidak terganggu waktu istirahatnya. Begitu juga saat menyambut hari kemenangan. Pengalaman lebaran yang telah lewat, takbiran hanya terdengar bukup dalam ruangan masjid. Jauh panggang dari api dengan kondisi di Indonesia yang mesti ada acara pawai takbir dan tabuhan beduk segala.

Begitu banyak pelajaran yang bisa kami ambil saat berpuasa di lingkungan orang-orang non muslim, terutama menanamkan kebiasaan supaya bisa menghargai mereka. Tidak menyusahkan dan tidak memaksakan kehendak.

Berdasarkan pengalaman, justru dengan demikian (banyak mengalah) mereka yang non muslim malah mulai mengenal Islam dengan baik. Minimal dari segi pemahaman mereka ternyata orang (Islam) yang berpuasa dan shalat lima kali sehari semalam itu mudah menyesuaikan dan tidak merepotkan. Syukur-syukur pekerja dari Indonesia murah senyum dan tetap ramah. Mencerminkan di mata mereka, meski sedang berpuasa, wajah pekerja tetap ceria hal itu akan semakin disenangi oleh orang Taiwan.

Akhir kata, selamat menjalankan puasa dimana saja berada. Berharap semangat menghargai dan mengalah antar sesama yang berbeda keyakinan ini tetap bisa dijalankan tidak pada saat di Taiwan saja, tapi juga di semua tempat.

Telkomsel Ramadhanku[]

Subur makmur, sebutan lain untuk Taiwan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline