Lihat ke Halaman Asli

Okti Li

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

Fenomena ABK Indonesia di Formosa

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buruh Migran Indonesia (BMI) di negeri Formosa (Taiwan) terdiri dari para Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), perawat lansia/panti jompo, pekerja industri/pabrik dan Anak Buah Kapal (ABK) alias nelayan atau pelaut. [caption id="attachment_107878" align="alignleft" width="300" caption="suka duka ABK Formosa"][/caption] Pelaut, mendengar namanya saja sudah bisa dibayangkan bahwa ABK/pelaut ialah para tenaga kerja yang bekerja di kapal berlayar mengarungi lautan. Pekerjaan yang mengandung resiko tinggi mempertaruhkan nyawa saat melawan arus ombak, badai angin topan, beragam beratnya pekerjaan serta tantangan-tantangan lainnya. Belum lagi perjuangan mereka selama berada di kapal; makan dengan asupan gizi seadanya dan tidur dalam ayun ambing ombak yang menggoyang kapal saat angin kencang berhembus. Bahkan tak jarang ketinggian ombak yang menghantam kapal itu lebih tinggi dari kapal yang mereka tumpangi. Jika demikian, tak banyak yang bisa dilakukan selain bersembunyi dalam kapal kecil rata-rata berukuran 2x3 meter berpenumpang empat orang. Tidur bukanlah hal yang bisa menyelesaikan masalah, berbaring pun justru akan membuat mereka lebih merasakan mabuk laut karena goyangan akan terasa makin kuat dan hal itu terjadi bukan satu atau dua kali saja, melainkan bisa menimpa mereka sepanjang minggu bahkan bulan. Saat itu nyali mereka sedang dicoba hingga sampai tahap mana mereka mampu bertahan. Tidak heran jika banyak ABK yang sakit akhirnya pulang tanpa membawa keberhasilan. Satu per satu pun kalah di medan pertempuran yang akhirnya membawa mereka mengundurkan diri pada pelayaran selanjutnya. Mabuk laut penyakit yang paling sering menyerang mereka. ABK dituntut memerangi lautan luas tempat sehari-harinya bekerja bergelut melawan goyangan, gelombang badai dan suhu yang drastis baik panas maupun dingin. Apakah pertarungan mereka sudah berakhir? Itu semua tergantung kepada majikan yang memperkerjakannya. Jika majikan merasa ABK Indonesia tersebut sudah tidak berguna lagi karena terus-menerus mengalami mabuk laut, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi tercantum nama Si ABK pada pelayaran selanjutnya. Underpay? Menyimak kondisi kerja yang sangat beresiko itu kita pasti membayangkan tentu sudah sepantasnya mereka mendapatkan gaji yang besar, makanan enak serta fasilitas menyenangkan. Tapi ternyata semua itu justru bertolak belakang! Gaji bulanan yang mereka terima justru lebih rendah dari BMI yang bekerja di daratan dengan resiko yang umumnya lebih minim. Gaji yang diterima ABK Indonesia hanya US$ 150 atau setara dengan NT. 4.500 (sekitar Rp. 1,4 juta) per bulannya. Padahal, gaji pokok (resmi sesuai peraturan Depnaker Taiwan) BMI Taiwan sektor informal sajaNT. 15.840 plus uang lembur rata-rata NT. 2000. Minimal mengantongi NT. 17.840 atau sekitar Rp. 5,1 juta per bulan. Miris, sungguh jauh perbedaannya. Resiko pekerjaan yang bertaruh nyawa hanya dihargai sekitar NT. 4.500. Kendati begitu ABK Indonesia tetap harus berjuang sekalipun ombak mengamuk dan mereka berada dalam status bahaya yang kemungkinan besar hanya akan menyisakan raga mereka di bumi ini. Selama ini, tak banyak yang bisa mereka lakukan, tak dapat menuntut banyak karena semua itu hanya akan berbuah pemecatan. Ya, jika mereka mempertanyakan perbedaan gaji dan fasilitas yang diterimanya itu, majikan atau kapten kapal dan agency tidak pernah rewel. Para ABK bahkan tidak pernah mendengar omelan dari mereka karena majikan saat itu juga bisa mengeluarkannya dari Kapal. Jika di mata majikan atau kapten kapal mereka salah, mereka langsung mendapat cacian, makian, bahkan tindak kekerasan pun kerap dialami. Semua itu seperti sudah menjadi menu harian mereka. Bogem mentah kerap melayang jika kerja dianggap kurang bagus oleh majikan. Jika melawan, sudah pasti dikeluarkan. Oleh karenanya, siap tak siap dengan pilihan yang dijalani, mereka hanya bisa mensyukuri atas pekerjaan yang telah mereka susah payah dapatkan. "Untuk bisa kerja ke sini saya harus jual tegalan (tanah --edited) milik orang tua di kampung, Mbak. Hutang pun belum semua terlunasi. Apa jadinya kalau saya dipulangkan atau pulang sebelum berhasil?" penuturan Muhamad terdengar nelangsa saat bertemu penulis di Emergency Keelung Hospital beberapa waktu lalu. Saat itu Muhamad tengah menjalani perawatan pasca operasi jari karena kecelakaan kerja. Jari tangan kanannya remuk tergencet rantai kapal. Bekerja Tanpa Dokumen Resmi Penderitaan mereka pun semakin lengkap manakala ROC (Taiwan) Resident Certificate atau sejenis KTP untuk penduduk tidak tetap Taiwan dan kartu Asuransi Kesehatan (askes) tidak diberikan oleh majikan dan atau agency. Padahal, sebagai pekerja asing seharusnya dokumen penting pribadi itu dipegang setiap waktu. Terlebih saat terjadi kecelakaan seperti yang dialami Muhamad. Bagaimana bingungnya ABK yang terkena kecelakaan kerja maupun si penolong/tim medis yang mengobati jika bahasa masing-masing sama-sama tidak faham, dokumen identitas pribadi juga tidak ada. Beruntung teman Muhamad tahu letak Rumah Sakit Keelung yang letaknya dekat dari pelabuhan lalu membawa Muhamad ke bagian emergency, di mana pertolongan pertama pada pasien selalu dinomor-satukan, administrasi diurus belakangan. Saat membantu menghubungi agency saya malah mendapat hardikan ketika memintakan KTP dan askes untuk kelancaran pengobatan. Agency yang pada akhirnya diketahui seorang perempuan berasal dari Jawa Tengah lalu menikah dengan pria Taiwan itu nada bicaranya sedikit melunak ketika saya sedikit menggertaknya akan menghubungi nomor telepon pengaduan ketenagakerjaan 1955 jika dia selaku agency tidak bertanggungjawab atas pengobatan Muhamad. Ditemani sesama ABK yang membawanya ke rumah sakit, Muhamad bercerita banyak tentang penderitaan para ABK pada umumnya. Mulai dari pemotongan gaji oleh agency, dokumen pribadi yang tidak diberikan (termasuk slip gaji), sampai kondisi tempat tidur dan jatah makan yang sangat menyedihkan. "Mas, kenapa tidak melapor sejak awal?" saya memberikan beberapa kartu nama berisi nama dan nomor telepon penting pengaduan berkaitan dengan ketenagakerjaan. "Mbak, gimana mo lapor? Bahasa tidak bisa, hape tidak punya, kesempatan juga tidak ada. Hari-hari di laut. Kalaupun ada naik (kapal mendarat --edited) kita gak bisa jauh-jauh dari pelabuhan, malah berabe kalo ketangkep karena tidak ada KTP." Tragis memang cerita gambaran kehidupan ABK Indonesia di Taiwan ini. Senada dengan penuturan Ihsan, ABK yang bekerja di Penghu, "Kami kerja rata-rata selalu berada di bawah tekanan. Kebanyakan mengalami hal yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Mulai dari gaji, kesejahteraan di kapal sampai masa pengobatan saat kita sakit. Beruntung yang mendapat majikan atau kapten kapal baik, tapi jika majikan atau kapten kapal kejam, kita hanya bisa saling bantu dan menyemangati agar tidak putus asa." Apakah permasalahan TKI - ABK di Taiwan ini sulit dipecahkan? Kenapa dokumen pribadi ABK salah satunya kartu asuransi kesehatan sampai saat ini masih juga tidak mereka dapatkan dari majikan atau agency? Saat mereka sakit dan berobat ke dokter, mereka harus membayar dengan biaya mahal bahkan tak jarang berujung komentar sinis yang mengatakan mereka pekerja ilegal karena tidak berdokumen. Banyak ABK yang mengalami sakit dan atau kecelakaan kerja harus tertahan di pelabuhan dan hanya diobati dengan obat warung alakadarnya. "Habis mo ke dokter ribet, Mbak, gak ada identitas. Mahal lagi. Jadi kami ABK di Penghu ini ya sudah pasrah saja." Kisah kepedihan yang dialami TKI sektor laut ini menjadi rentetan permasalahan ABK Indonesia pada umumnya di Taiwan. Mereka hanya bisa berharap akan adanya campur tangan pemerintah Indonesia supaya permasalahan mereka tidak berlarut-larut dan turun-temurun menimpa ABK Indonesia selanjutnya. ABK Indonesia Dipandang Sebelah Mata Meski menyedihkan ABK Indonesia tetap menjalani semuanya dengan senang tanpa keluhan. Doa yang mereka panjatkan selain meminta keselamatan dan kesehatan ialah berharap gaji mereka suatu saat bisa seimbang dengan pekerja warga China Daratan (bukan warga Taiwan) ataupun ABK negara lain di Taiwan yang rata-rata mendapatkan gaji standar US$350 per bulan. Padahal, ada nilai lebih yang diakui para majikan di Taiwan (dan juga di beberapa negara lainnya) yang pantas menjadi salah satu kebanggaan bagi Bangsa Indonesia, yaitu pengakuan mereka (para majikan) yang menyatakan kalau pekerja asal Indonesia itu terkenal rajin, hasil kerjanya rapi, bagus serta terkenal dengan sopan santun dan pekerja keras bisa mengerjakan apapun hingga bisa dipercaya oleh majikan. Lalu kenapa harus ada perbedaan gaji sementara pekerjaan sama, bahkan lebih berat? "Saya tidak tahu hilang kemana semua uang kami. Mungkin saja diambil oleh agensi di Indonesia. Tidak mungkin satu kapal tapi beda gaji. Toh pemilik kapal juga sama," demikian penuturan ABK bernama Suparji sebagaimana dikutip media lokal Taiwan yang terbit bulan Maret 2011 edisi 52 hal 72. Pekerjaan ABK Indonesia jelas lebih berat dari ABK asing lainnya tapi herannya justru ABK Indonesia mendapatkan gaji lebih kecil dari ABK asing tersebut tentu hal ini dianggap tidak wajar dan menjadi pertanyaan besar, bukan hanya bagi para ABK Indonesia itu sendiri, tapi juga masyarakat awam pada umumnya. Walau begitu, ABK Indonesia nrimo dan bersedia saja bekerja lebih berat, selain mengingat hutang di kampung untuk biaya keberangkatan jadi ABK ke Taiwan belum terlunasi, sejak awal mereka telah siap dengan segala resiko, mereka juga berpengertian bekerja di kapal tidaklah ada yang ringan. Pelayaran yang mereka arungi kurang lebih berkeliling setengah bagian dari bumi yang kita tempati. Mulai melakukan pelayaran dari Taiwan, pada musim panas mereka berlayar keliling Eropa, menuju Barcelona dan Belanda untuk menangkap ikan cumi. Menginjak musim dingin, mereka berlayar ke perairan Jepang, menangkap ikan yang nantinya akan diturunkan di Korea. Tentu saja perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Masih beruntung dapat singgah walaupun hanya satu atau dua hari dalam sebulan, itu pun jika kapal hendak berlayar. Jika tidak, mau tidak mau mereka harus tetap berada di atas lautan selama tiga sampai empat bulan ke depan untuk mendapatkan hasil pancingan. Jika tetap berada di laut, hasil memancing hanya akan dipindahkan melalui kapal barang lainnya di atas laut. Jika kapal barang itu datang, mereka sudah cukup mengerti bahwa keberadaan mereka di atas kapal tidaklah sebentar. Suka duka tetap mereka jalani. Tidak ada permainan apapun di kapal selain debur ombak lautan dan hamparan langit. Jika beruntung, pancingan mereka terkadang mendapatkan anjing laut, ikan raksasa, atau hewan laut lainnya yang terlihat aneh. Tangkapan itulah yang dijadikan mereka sebagai tontonan, bahan mainan, bahan lelucon bersama teman-teman sekapal saat pikiran jenuh dan sumpek. Para ABK mendandani ikan atau binatang laut yang mereka tangkap selama beberapa hari untuk dijadikan mainan sebelum akhirnya mereka lepaskan kembali ke laut. Bukan hanya binatang dalam air, terkadang burung raksasa juga ada yang hinggap menumpang di atas kapal. Burung itu pun dijadikan bulan-bulanan mereka selama beberapa saat. Pengalaman yang sangat menyentuh hati kita --yang tak pernah tahu dan merasakan bagaimana terkurungnya mereka di atas lautan-- merasakan kebahagiaan dan ikut tertawa-tawa seakan turut berlayar bersama mereka. ABK Kerja Part Time Gaji yang diterima sebesar NT. 4500 per bulan tidaklah cukup memenuhi biaya kebutuhan para ABK, apalagi keluarga di tanah air menantikan kiriman pula setiap bulannya. Tak ada rotan akar pun jadi, ketika kapal sedang tidak berlayar, para ABK --menganggur di pelabuhan-- sebagian dari mereka mencari uang tambahan melalui kerja part time. Meski aturan ketenagakerjaan di Taiwan menyatakan bahwa TKI hanya boleh bekerja pada majikan yang resmi dan sesuai dengan kontrak kerja, apa boleh buat karena kebutuhan tidak bisa ditangguhkan. Nasib kurang beruntung dialami lima orang ABK Indonesia yang bekerja di Kaohsiung. Lima ABK tertangkap basah oleh polisi yang berkantor di Jien Jen Fen Ji sedang bekerja di perusahaan bakso dengan gaji NT. 100 per jam dengan waktu kerja selama 4-5 jam setiap harinya. Sore itu tanggal 9 Maret pihak agency pun dipanggil demi mendapatkan kejelasan status lima orang BMI yang digerebek polisi saat kerja part time. Polisi juga mengintrogasi pemilik perusaan bakso. Proses dengan mudahnya selesai dalam waktu lima jam ketika terbukti para BMI bekerja sebagai ABK itu berstatus resmi dan motif si pemilik perusahaan bakso pun murni hanya menolong. Syukur kala itu polisi hanya memberikan peringatan pada ABK Indonesia dan pemilik perusahaan bakso bahwa kerja part time itu tidak dibenarkan. Rentetan kejadian memilukan menimpa ABK Taiwan Sabtu 12 Februari, dua buah kapal nelayan terbakar di dermaga nelayan Tamsui, Taipei County. Peristiwa terjadi saat seluruh awak kapal sedang terlelap. Beruntung Edi (22) terbangun ketika api mulai membakar kapal pertama. Edi langsung membangunkan teman-temannya, ada yang menceburkan diri ke Sungai Danshui, sebagian lari ke daratan. Angin kencang membuat api menyambar kapal yang bersandar di sampingnya. Kapal kedua pun terbakar. Awak kapal tidak sempat menyelamatkan harta bendanya, tapi masih bersyukur tidak ada korban jiwa. Sebagian besar nelayan tersebut belum genap satu tahun bekerja di Taiwan sebagai penangkap belut. Setelah bekerja, mereka kembali ke daratan dan tidur di kapal. Kapal yang pertama terbakar dihuni oleh 7 orang nelayan dan 6 orang lainnya tidur di kapal kedua. Akibat kebakaran itu sementara mereka tidur di gudang majikan. Dengan adanya peristiwa tersebut, pihak KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia) yang menyerahkan bantuan darurat berupa makanan dan pakaian sekaligus menemukan fakta bahwa kehidupan nelayan tersebut tidak mendapatkan hak sebagai Tenaga Kerja Asing dan kurang mendapatkan perlindungan keselamatan kerja. Karim Ditemukan Tidak Bernyawa [caption id="attachment_107881" align="alignleft" width="300" caption="Karim. Dok. Pribadi"][/caption] Enam hari setelah peringatan Hari Nelayan Indonesia dirayakan, seorang ABK di Pelabuhan Lamkang, Penghu --Pulau di bagian barat Taiwan-- bernama Karim asal Tegal, Jawa Tengah ditemukan sudah tidak bernyawa ketika kapal tempatnya bekerja hendak berlayar. Saat rekan sesama ABK menyiapkan peralatan melaut, Selasa (12/4) Karim tidak tampak. Rekan ABK pun mencarinya tapi tak ada yang tahu dimana Karim berada. Seorang rekan berinisiatif turun ke laut memastikan apakah Karim jatuh ke laut. Setelah melakukan pencarian beberapa jam lamanya, Karim ditemukan di dekat kapal dalam keadaan tidak bernyawa. "Padahal, semalam kita masih kumpul. Setelah ngobrol di telepon dengan kekasihnya raut wajah Karim memang berubah. Hingga dia pamit untuk istirahat dan keesokan harinya ditemukan sudah tiada," seperti dituturkan Ihsan, sesama ABK. Kejadian itu pun langsung dilaporkan kepada Forspita (Forum Silaturrahmi Penghu Taiwan) dibantu Fosmit(Forum Silaturrahmi Muslim Indonesia) Chungli ke pihak KDEI. Sucipto Ditemukan Terapung [caption id="attachment_107880" align="alignleft" width="300" caption="Sucipto. Dok. Pribadi"][/caption] Selang tiga hari dari kematian Karim (15/4) Sucipto Abdi Pamungkas, asal Batang, Jawa Tengah ditemukan terapung di Pelabuhan Makung, Penghu. Tidak diketahui pasti penyebab kematian Sucipto karena mayat diperkirakan sudah tiga hari terapung di laut. Terakhir informasi dari teman Sucipto mengatakan setelah pulang dari salah satu Toko Indonesia, Sucipto menghilang dan ditemukan tiga hari kemudian sudah tidak bernyawa. "Kejadiannya belum jelas. Ada teman almarhum bilang, sepulangnya kumpul dengan teman-teman di toko indo dia tidak diketahui keberadaannya sampai ditemukan terapung di laut." Jelas Avi, pengurus Forspita Penghu yang berkoordinasi dengan Fosmit Chungli. Hingga tulisan ini saya publish, baru jenazah Sucipto yang sudah dipulangkan ke tanah air pada tanggal 29 April. Sementara jenazah Karim masih disemayamkan di Rumah Sakit Penghu, menunggu surat kuasa dari pihak keluarga almarhum kepada KDEI supaya KDEI dapat mengurus prosedur yang berlaku bagi TKI meninggal, sebagaimana informasi yang disampaikan Avi pengurus Forspita Penghu saat saya hubungi melalui telepon selulernya. Informasi yang disampaikan Ihsan, ABK Penghu pun turut membenarkan bahwa jenazah Sucipto sudah diterbangkan ke tanah air sementara jenazah Karim belum, "Pihak KDEI masih menunggu limpahan surat kuasa keluarga almarhum dari Indonesia." Demikian ucap Ihsan juga lewat sambungan telepon seluler. Setiap malam di pelabuhan tempat ABK bekerja masih diadakan tahlil dan doa bersama untuk jenazah ABK. Nenek Moyangku Orang Pelaut… Negara Republik Indonesia ialah negara kepulauan terluas di muka bumi, terdiri dari lebih kurang 17.000 pulau dengan luas keseluruhan wilayahnya mencapai 5.176.800 km2 (Djenen dkk, 1981:7).Dari keseluruhan luas wilayahnya, luas daratan tercatat 1.922.570 km2 (BPS, 2003 dalam K. Wardiyatmoko, 2004:42). Dengan demikian luas perairan lautnya adalah 3.254.230 km2. Sejak jaman dulu kala Indonesia terkenal sebagai negara maritim. Mungkin karena faktanya Indonesia adalah negara kepulauan, dimana dua pertiga wilayahnya merupakan perairan (laut). Sejarah pun selalu mengisahkan betapa gagah beraninya Bangsa Indonesia melalui kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara menggunakan jalan perairan (laut) sebagai sarana transportasi dengan naik kapal laut. Bahkan kalimat "Nenek moyang ku orang pelaut" lirik lagu anak-anak ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio atau lebih dikenal dengan Ibu Sud itu sudah akrab di telinga kita, menandakan laut dan segala hal yang berkaitan dengannya memang sudah menjadi warisan budaya leluhur Bangsa Indonesia. Nenek Moyangku Cipt. Ibu Sud Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudera Menerjang ombak tiada takut Menembus badai sudah biasa Angin bertiup, layar berkembang Ombak menderu di tepi pantai Pemuda b'rani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai Sayang sekali jika pemuda bangsa negara maritim yang mengabdikan hidupnya di laut negara orang ini hidupnya menderita, mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan penghasilan hidup di lautan negara orang, bukan di lautan negara sendiri. Para ABK sebagai Sumber Daya Manusia yang terlatih dan berpengalaman jika saja sekembalinya dari negeri rantau diberi kesempatan untuk mengabdikan dirinya demi kemajuan perairan Indonesia kiranya bukanlah suatu impian yang muluk-muluk, bukan? Tapi mampukah semua itu tercipta? Pedulikah pihak-pihak yang berkaitan memperjuangkan permasalahan ABK Indonesia --khususnya di Taiwan-- hingga kesejahteraan dan hak mereka sebagai ABK terpenuhi? Jangankan memikirkan kehidupannya di masa yang akan datang, saat masih mengabdi dan bekerja di laut saja (sebagai ABK) kesejahteraannya banyak yang tidak terpenuhi. Wajarkah kita menyangsikan sikap tanggap pihak-pihak yang berkaitan manakala fakta telah lebih dulu berbicara? Apalah artinya permasalahan "kecil" yang melilit para ABK Indonesia di Taiwan sementara permasalahan "besar" ABK Indonesia saat disandera perompak Somalia yang menjadi sorotan dunia saja pihak yang berkaitan masih terbilang lelet dan menghitung-hitung untung ruginya? Jalesveva Jayamahe Jaya Pelaut Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline