Lihat ke Halaman Asli

Okti Li

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

#AksiBarengLazismu Ngidam Pencacah Sampah Basah

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

#AksiBarengLazismu Ngidam Pencacah Sampah Basah

Musim hujan atau panas, persoalan sampah tidak pernah ada habisnya. Kesadaran masyarakat khususnya sekitar tempat tinggalku juga tidak kunjung berubah. Kali Cikadu di samping rumah tetap jadi tempat pembuangan sampah tetangga sekitar. Baik sampah organik, maupun non organik.

Awalnya, sejak aku dibawa suami pindah jadi warga Kecamatan Pagelaran dan menyaksikan kebiasaan membuang sampah hingga menumpuk di kali samping rumah ini aku bilang kepada orang terdekat dan tetangga lainnya, kalau membuang sampah ke kali akibatnya tidak baik. Tapi tenyata tidak didengar.

Mereka malah menantangku, kalau tidak dibuang ke kali itu, lalu akan dibuang kemana? Mereka bilang sudah sejak lama kebiasaan membuang sampah ke kali itu sampai turun-temurun, toh tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku hanya bisa menarik nafas. Memang benar, di daerah kami tidak ada pembuangan sampah ahir (TPS). Yang aku tahu, ada TPS Pasir Sembung, itu di Kecamatan Cilaku, berjarak 2 jam naik kendaraan dari tempat tinggalku.

Akhirnya disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, aku mengambil kembali sampah plastik yang dibuang warga untuk dikumpulkan. Yang bisa dijual ke pengepul aku pisahkan, sementara yang tidak laku aku bakar. Pikirku paling tidak bisa mengurangi sampah yang bisa didaur ulang hanyut ke kali.

Berkat sharing dengan orang yang mempunyai keprihatinan yang sama akan kebiasaan membuang sampah ke kali ini aku jadi tahu bahwa kebiasaan jelek itu tidak hanya terjadi di daerahku saja, tapi juga di kecamatan-kecamatan lain di Cianjur ini.

Semakin banyak informasi yang aku dapat, pengetahuanku semakin bertambah. Ternyata sampah bisa menghasilkan uang jika diolah dengan benar. Setelah belajar memilah sampah,  mana yang organik dan mana yang non organik, aku mendapatkan ilmu lain yaitu membuat sampah organik menjadi pupuk kompos. Sebelumnya aku membiarkan pupuk organik hanyut ke sungai dengan dalih nanti juga akan busuk dengan sendirinya.

Kesempatan belajar membuat pupuk kompos aku jalani pelan-pelan. Search di internet, ikut belajar dari pengalaman dan kisah orang-orang yang sudah sukses mengelola bank sampah, sampai kegiatan-kegiatannya hanya bisa aku pantau dari kampung. Keterbatasanku sebagai ibu rumah tangga dan masih sulitnya memberikan pengertian kepada warga sekitar membuat aku seolah jalan di tempat.

Aku memilih untuk terus sharing dengan orang-orang yang tidak berpangku tangan. Tidak harus menunggu program pemerintah, tapi lebih pada melakukan sesuatu yang akan membuat sebuah program swasembada masyarakat.

Tak jauh dari rumah mertua di kota Cianjur, tepatnya di Desa Sindanglaka, Kecamatan Karangtengah, ada teman yang memutuskan untuk menggeluti dunia sampah. Salut kepadanya, karena secara perlahan, Hendra Sunandar (27) nama pemuda itu berhasil memberdayakan masyarakat sekitarnya. Bergabung bersamanya seolah aku tidak berjalan sendirian.

Komunitas sampah yang didirikannya pada awalnya terdiri dari 10 orang yang sama-sama penuh keprihatinan akan pembuangan sampah di sekitar yang hanya ditumpuk di pinggir sungai. Setahun lalu, bermodalkan uang dana kematian warga yang jumlahnya sebesar Rp. 500 ribu, Hendra membentuk komunitas sampah.

Saat ini dari pengolahan sampah organik yang terkumpul baru bisa menghasilkan sekitar 20 Kg kompos per bulannya. Tentu ini jumlah yang sangat kecil dibanding berkwintal-kwintal sampah yang dibuang warga pada setiap harinya. Permasalahannya kami belum punya alat pencacah sampah basah. Semuanya masih kami lakukan secara manual.

Miris rasanya saat Dinas Kebersihan Kabupaten Cianjur meminjami kami mesin pencacah yang kondisinya sudah rusak. Meski rusak, kita coba perbaiki menggunakan dana kas. Mesin pencacah itu bisa berjalan lagi setelah menghabiskan biaya sekitar Rp. 2 juta.

Lebih nelangsanya, saat mesin pencacah sudah diperbaiki dan akan digunakan, tiba-tiba datang utusan. Katanya mesin pencacah itu akan diambil. Alasannya mesin itu dipinjamkan hanya 2 minggu saja, itu pun katanya tidak ada informasi. Kami tidak bisa apa-apa, hanya bisa gigit jari manakala biaya perbaikan sama sekali tidak diganti. Benar-benar sakitnya tuh disini...

Hal itu jadi satu hal yang tidak akan pernah kami lupakan dan menjadi titik balik bagi kami supaya bisa mempunyai mesin pencacah sampah sendiri.

Kami tidak ingin muluk-muluk, tapi kedepannya jika ada modal, dengan membeli mesin pencacah sendiri diharapkan bisa lebih optimal dalam mengolah sampah dan bisa lebih maksimal dalam mengajak warga untuk tidak membuang sampah ke kali. (Ol)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline