Lihat ke Halaman Asli

Dokter dan harapan baru antara BPJS dan MenKes Baru

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14145654842006006148

Belum lama ini Dunia kesehatan memperingati Hari Dokter Nasional yang bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 24 Oktober 2014, Suatu bentuk apresiasi untuk profesi ini, hingga saat ini Hanya profesi Dokterlah yang diperingati sebagai salah satu hari besar kesehatan di Indonesia.

Sayangnya tidak banyak yang tau, atau mungkin lupa akan hari tersebut, observasi singkat terhadap media cetak, media audio visual, maupun media on-line tidak banyak yang menyajikan berita khusus mengenai Hari Dokter Nasional, seluruhnya tenggelam oleh pemberitaan “ Daftar Nama Menteri  Kabinet Jokowi”, hanya di media social lah beredar ucapan-ucapan  seperti “Selamat Hari dokter!! Terimaksih dokter!!” dan sebagainya.

Tidak dipungkiri bahwa menjadi seorang dokter merupakan sebuah kebanggaan, betapa tidak, seorang dokter dengan keilmuannya mengabdi pada kemanusiaan, mengobati mereka yang sakit, dan turut membantu terpeliharanya kesehatan pasien dengan berbagai macam upaya.

Dokter memiliki peranan yang cukup penting bagi setiap diri manusia. Sebab, seseorang dalam menjalankan siklus hidupnya pasti membutuhkan dokter dalam pemeliharaan kesehatannya.  Terutama Pasien dengan penyakit kronis selalu membutuhkan nasihat dokter dalam mengatur diet, jadwal olahraga dan semua kegiatannya sehari-hari. Pada era penggunaan BPJS-Kesehatan, dokter bisa menjadi tameng utama untuk merawat kesehatan perorangan, tidak hanya secara kuratif dan rehabilitatif tetapi juga promotif dan preventif.

Bertepatan sehari sebelumnya (Kamis, 23 Oktober 2014) saya berkesempatan berkunjung ke BPJS Kesehatan- Cempaka Putih, dan berdiskusi dengan seorang dokter yang bekerja dibawah bendera BPJS-Kesehatan. Menurut beliau saat ini BPJS sedang merumuskan dan memikirkan bagaimana caranya agar akses terhadap layanan kesehatan semakin terdistribusi merata di seluruh wilayah Indonesia, khususnya dalam hal ini adalah PPK I atau dengan kata lain Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), yang dapat dibagi dalam 5 kategori, yaitu Puskesmas, Klinik TNI, Klinik POLRI, Klinik Pratama (swasta) dan Dokter praktek perorangan.

 Dalam prakteknya, Tentu kunci utamanya adalah Dokter, atau dengan kata lain disebut dengan Dokter Layanan Primer (DLP). Masalahnya adalah apakah para dokter ini tertarik untuk bekerjasama dengan BPJS-Kesehatan?? berjuang mendekatkan akses masyarakat pada layanan kesehatan di seluruh penjuru tanah air, berpraktek di pedesaan yang tertinggal dan jauh dari kenyamanan kota serta segala dinamikanya.

Upaya pemerintah dalam hal ini Kemenkes dirasa cukup gigih berusaha untuk maratakan distribusi tenaga dokter di Indonesia, program Penugasan Khusus tenaga Dokter di DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan), Program Residen Senior di DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan), pengangkatan dokter PTT, dan Program Internsip Dokter Indondsia (PIDI), namun masalah pemerataan tenaga dokter tak kunjung usai, penempatan dokter di daerah tersebut cendrung bersifat sementara, perlu perjuangan lebih dalam mendistribusikan dokter, lain halnya dengan perawat/bidan.

Namun komitmen pemerintah terhadap kesehatan kembali diuji, Mari kita tengok seberapa besar perhatian Negara ini terhadap tenaga kesehatan terutama dokter. Menurut data PPSDM Kemenkes, lebih dari 42.000 dokter umum dan 38.000 dokter spesialis berpraktek di Fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) milik pemerintah di seluruh Indonesia, para dokter tersebut harus memperebutkan bagian berupa Gaji bersama dengan tenaga kesehatan lainnya seperti perawat, bidan dan lain-lain yang totalnya berjumlah lebih dari 891.000 personil.  (sumber:http://www.bppsdmk.depkes.go.id), jika total anggaran kesehatan yang hanya 3,8% dari APBN 2014 yang sebesar Rp. !.816,7 Triliun maka hanya 69 Triliun untuk kesehatan, sudah termasuk dalam anggaran tersebut operasional Kemenkes, Badan POM, BKKBN dan lembaga kesehatan lainnya, pengeluaran untuk upaya penyehatan masyarakat dengan program-program kesehatan, pemeliharaan Fasyankes lama dan pendirian fasyankes baru, subsidi fasilitas penunjang kesehatan seperti Pengadaan Air bersih dan lain-lain. Dapat dipastikan, anggaran kesehatan yang dinilai terlalu rendah tersebut menunjukkan betapa terbengkalainya urusan kesehatan masyarakat dan SDM kesehatan di negeri ini.

Dana bukanlah satu-satunya pemicu masalah ini, Saya mencoba menganalisis apa saja penyebab terjadinya maldistribusi tenaga dokter di Indonesia, dengan bahasa yang sederhana saya uraikan beberapa diantaranya sebegai berikut.

1.       Tenaga kesehatan terutama dokter dihimbau untuk mengabdi pada Negara dengan berkorban untuk menolong masyarakat yang sakit hingga ke pelosok-pelosok negeri, ironisnya selama ini himbauan tersebut tidak diiringi dengan apresiasi dan dukungan yang penuh, bisa jadi oleh karena itulah mengapa penyebaran tenaga dokter masih menjadi masalah SDM kesehatan hingga saat ini.

2.       Sistem seleksi masuk pendidikan kedokteran serta biaya pendidikan yang mahal menyebabkan keterjangkauan pendidikan kedokteran hanya sampai pada siswa-siswa yang berasal dari sekolah unggul dan memiliki modal financial yang cukup, mereka tidak lain berasal dari perkotaan. Lahir dan besar di kota, sudah mengeluarkan banyak biaya pula untuk lulus, alangkah nestapanya jika setelah bersusah-payah lulus harus masuk pelosok-pelosok desa pula yang jauh dari peradaban.

3.       Jiwa pengabdian dan social yang kian merosot memperparah ruwetnya permasalahan ini, gaya hidup yang individualis, hedonis dan jauh dari nilai-nilai agama dan social menyebabkan siapapun jadi berorientasi materi, kalaupun masih ada orang-orang pilihan yang termotivasi untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan dan mau di tempatkan di daerah-daerah seringkali motivasi dan idealisme tersebut kurang dihargai, sehingga motivasi dan idealisme ini perlahan-lahan luntur diterpa berbagai masalah dan kendala dalam menjalankan tugas.

 Solusi

Berangkat dengan pola pikir yang “ala kadarnya” menurut hemat saya dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut, setidaknya tiga hal yang dapat dilakukan yaitu: 1)Memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan dari APBN. 2)Mengarahkan pola pendidikan dan system seleksi/pembiayaan pendidikan kedokteran. 3)Memaksimalkan peran BPJS-kesehatan dalam kebijakan distribusi dokter layanan primer/dokter keluarga. 

Sebagai mana yang sudah kita ketahui bersama bahwa anggaran kesehatan di tahun 2014 ini masih sebesar 3,8% , padahal UU Kesehatan no.36/2009 mengamanatkan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN diluar gaji. Sudah semestinya Bidang kesehatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan, dengan meningkatkan anggaran kesehatan dan pemberian insentif yang layak bagi SDM kesehatan untuk melaksanakan tugas tentu sudah tidak ada lagi alasan bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk menolak ditempatkan dimana saja selama fasilitas kerja dan insentif yang diterima cukup layak.

Masih terngiang di benak saya pernyataan Dosen Mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia dimana saat ini saya menimba ilmu, beliau mengatakan bahwa terkadang kita sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), apalagi jika sedang menjabat dan memiliki wewenang tertentu kurang menghargai kemampuan dan kapasitas rekan kerja, kolega atau bahkan diri kita sendiri yang jelas WNI, jangan heran jika terkadang SDM bukan WNI yang bekerja di Negara ini diapresiasi dengan gaji yang lebih, padahal bisa jadi kapasitasnya tidak melebihi teman kita sendiri, atau saudara kita yang sebangsa dan setanah air. Giliran Perusahaan Asing di negeri ini membayar rendah para profesionalnya yang WNI, karena memilih mengenyangkan diri sendiri, lebih memprihatinkan lagi SDM WNI yang bekerja di luar negeri dibayar rendah bahkan mungkin lebih rendah dari bangsa lain. Jika kita sendiri tidak Percaya dan menghargai diri sendiri, jangan harap orang lain menghargai kita..

Kembali kepada persoalan distribusi dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai lembaga yang mewakili para dokter di Indonesia menyambut seruan BPJS- kesehatan untuk menyediakan DLP (Dokter Layanan Primer) atau dokter keluarga bahkan di pelosok-pelosok, namun apakah nilai kapitasi yang serta peruntukannya cukup menarik?? Cukup memuaskan?? Cukup menghargai profesi dokter?? (baca: PerPres No.32/2014, PerMenKes No.19/2014) apalagi nilai kapitasi tersebut sama antara perkotaan dan pedesaan, sudah tentu Masalah ini tidak akan pernah usai. Para dokterpun tetap saja menumpuk di perkotaan, Perlu pembahasan serius menganai hal ini.  

Seiring dengan pembenahan proporsi anggaran kesehatan dari APBN yang diperuntukkan bagi Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), BPJS harus berperan aktif dalam mendekatkan para pesertanya terhadap Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), hal ini tidak lain dengan merumuskan kebijakan yang tepat bagi Dokter Layanan Primer. Melalui nilai Kapitasi yang tepat, menguntungkan dan berkeadilan saya pikir dokter tidak akan “emoh” lagi bila ditempatkan di daerah. Hal ini tidak hanya menyelesaikan masalah maldistribusi dokter tetapi juga masalah qualitas pelayanan dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

Selain membenahi pengelolaan dana tekait SDM kesehatan, pembenahan mental dan pendidikan kedokteran harus mendapat perhatian lebih, tidak jarang kita mendengar orang tua menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran agar anaknya nanti kaya dan terhormat, tentu dengan menjual kesehatan sebagai komodity, tidak cukup sebagai dokter umum tapi harus dokter spesialis agar lebih besar lagi “pemasukan”nya, jika sudah sampai pada titik ini maka tidak salah lagi “Revolusi Mental” yang didengung-dengungkan selama ini. Mental SDM kesehatan terutama dokter haruslah bermental “melayani” bukan mental “dagang”.

Dengan pendekatan system yang komprehensif, pendidikan kedokteran tidak boleh luput dari perhatian, karena disini lah para dokter ini dibentuk, selain pembentukan mental dan karakter dapat diproses dari sini, input berupa calon mahasiswa kedokteran harus berdasarkan minat dan bakat dalam mengabdi serta asas keterwakilan dari setiap daerah, proses pendidikanpun tidak boleh mahal sehingga diharapkan outputnya berupa dokter yang siap pulang kampung dan mengabdi demi kemanusiaan, bukan dokter yang ingin “cepat-cepat balik modal”.  

Harapan

Komando Kesehatan di Indonesia kini dikomandoi oleh Menteri Baru yaitu Prof.dr.Nila Moeloek, Sp.M. dimata saya beliau adalah orang yang tepat saat ini, selain karena pengalaman juga karena beliau adalah seorang akademisi di salah satu fakultas kedokteran yang ternama di negeri ini. beliau juga tidak lain adalah istri dari Prof. Dr.Faried Anfasa Moeloek yang pernah juga menjabat sebagai Menteri Kesehatan pada Kabinet Reformasi, Beliau mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan kedokteran dan system dokter keluarga. (baca:www.uph.edu/id/component/wmnews/264.html)

BPJS yang kini sedang menggalakkan konsep Dokter Layanan Primer (DLP) sebagai pelaksana PPK I pantas lega dengan sosok Menteri kesehatan saat ini, setidaknya konsep tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep Dokter Keluarga yang sudah lama direncanakan oleh prof. Moeloek namun tak kunjung terlaksana. Harapan saya BPJS dan Kemenkes akan semakin kompak dalam mengurus akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, distribusi SDM kesehatan serta membenahi kualitas SDM kesehatan baik Nakes maupun non-Nakes.

Berperan juga sebagai Akademisi, Prof.dr.Nila Moeloek,Sp.M. tentulah akan menggunakan pendekatan ilmiyah dalam setiap kebijakan Kemenkes, turut pula dalam kebijakan pendidikan kedokteran agar menghasilkan dokter-dokter berkualitas, siap mengabdi, berdaya juang yang tinggi dan bermental baja. Belum terlambat, “Selamat hari dokter, terimakasih dokter atas pengabdianmu selama ini, kontribusimu masih kami nantikan….”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline