Mau di bawa kemana pendidikan kedokteran di Indonesia!!!!
(dr.spesialis VS dr.umum VS dr.LP)
Oleh: Tahani
Genap sudah, satu tahun usia sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di bawah penyelenggaranya yaitu BPJS-Kesehatan. 1 Januari 2014, JKN secara resmi dan bertahap
mulai diselenggarakan secara nasional. JKN merupakan suatu sistem dengan tujuan luhur agar
semua masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata dan tidak
diskriminatif,baik di Pelayanan kesehatan primer (Puskesmas, Klinik) maupun di pelayanan kesehatan sekunder (Rumah Sakit).
Indonesia menyadari betul pernyataan WHO dalam laporan tahunannya, tahun 2008, bahwa negara dengan layanan kesehatan primer yang kuat dan mumpuni mampu menciptakan sistem layanan kesehatan yang tidak hanya bermutu, namun hemat dalam pembiayaannya. Pelayanan Kesehatan Primer adalah Gatekeeper dalam sistem kesehatan dimanapun, sehingga sangat dekat dengan upaya kendali mutu dan kendali biaya.
Pelayanan Kesehatan Primer (PPK I, Faskes Primer, FKTP) tentu tidak terlepas dari peran penting seorang dokter, selama ini yang kita temui di Faskes Primer adalah dokter umum, dokter di Faskes Primer diharapkan mampu menjadi ujung tombak penyelenggaraan, menyelesaikan 80% permasalahan, mengupayakan upaya promotif-preventif, dan sekaligus mencegah kebocoran anggaran. Harapan besar ini menuntut kompetensi tinggi tidak hanya kompetensi dokter umum yang selama ini cenderung fokus pada upaya kuratif-rehabilitatif.
Mengingat pentingnya dokter pada pelayanan primer pada Era JKN, maka dibutuhkan suatu daftar kompetensi terukur seorang dokter yang dengan kompetensinya itu maka disebut Dokter Layanan Primer (dr. LP atau DLP). Implikasinya adalah penyesuaian sistem pendidikan kedokteran terhadap sistem JKN. Pemerintah lantas berinisiatif untuk merancang produk perundangan, yang salah satu tujuannya, mengakomodasi proses persiapan dan pendidikan dokter layanan primer melalui pengesahan UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. UU No 20 tahun 2013 memperkenalkan istilah Dokter Layanan Primer sebagai strata baru pendidikan kedokteran di Indonesia.
Kualitas dokter Indonesia
Badan pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan mencatat jumlah dokter umum di Indonesia tahun 2014 adalah sebanyak 42.265 dokter, sedangkan dokter spesialis sebanyak 38.866 dokter, secara rinci, rasio dokter 38,1 per 100.000 penduduk, dokter spesialis 9,9 per 100.000 penduduk.
Sebagai SDM kesehatan yang menjadi tulang punggung pelayanan Kesehatan, kualitas dan kompetensi dokter haruslah baik, banyak sekali kasus malpraktek dokter yang terjadi di Indonesia, tercatat pada tahun 2013 setidaknya terdapat 373 pengaduan malpraktek ke LBH kesehatan, angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sekitar 198 kasus. Wajar saja jika banyak pihak yang menduga terjadi penurunan kualitas dokter di Indonesia, hal in diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Zaenal Abidin, Ia menyampaikan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dokter di Indonesia juga datang dari Asosiasi Institusi Pendidikan kedokteran Indonesia (AIPKI).
Menurut saya wajar saja hal ini terjadi, mengingat besarnya minat anak bangsa ini untuk menjadi seorang dokter, sehingga peluang ini ditangkap oleh berbagai institusi pendidikan kedokteran, tidak jarang penerimaan mahasiswa kedokteran tidak berdasarkan potensi akademik dan bakat mahasiswa tersebut, tapi berdasarkan modal besar yang dimiliki orang tua sang mahasiswa, yang entah karena memang niat luhur atau karena gengsi, sangat ingin menjadikan anaknya seorang dokter.
“Sudah sekolah mahal, sekolahnya susah pula, masak mau dibayar recehan setelah ngobatin pasien…” kira-kira begitulah pernyataan yang saya dengar dari seorang dokter muda yang tentu tidak bisa saya sebutkan identitasnya, “sudah bukan zamannya lagi bicara pengabdian, pengabdian terus lalu mau makan apa…”, mendengar pernyataan-pernyataan tersebut maka Jangan heran saat ini banyak pengaduan dari masyarakat yang menyebutkan oknum dokter sebagai “dokter matrialistis-kapitalis” atau “dokter abal-abal”, mungkin karena pelayanannya yang mahal, kurang baik, kurang ramah, atau mungkin kurang manjur!!! Yang jelas ketika pelayanan dilakukan setengah hati, entah karena kecilnya insentif, kurangnya penghargaan, atau lemahnya motivasi, maka pelayanan prima seorang dokter tak akan dirasakan oleh pasien.
Eitssss, Jangan mengeneralisir seluruh dokter begitu, masih banyak juga dokter yang bekerja sepenuh hati mengabdi pada masyarakat, bangsa dan Negara. Para pahlawan kesehatan tersebut juga sempat saya wawancara dalam rangka mengerjakan tesis. Nanti pada saatnya akan saya sajikan pula sebagimana tulisan ini.
Pendidikan Dokter Layanan Primer, Apalagi sih iniiii?!?!?!
Kira-kira begitulah pernyataan sebagian besar dokter umum yang berpraktek di berbagai Faskes Kesehatan, bagi kebanyakan dari mereka proses S1 kedokteran, KoAs, Ujian Kompetensi, lalu Internship sudah cukup melelahkan dan menuntut banyak pengorbanan materil dan non materil. Kini praktek di layanan primer saja harus sekolah lagi!!! Bertahan sebagai dokter umum mau praktek dimana???
Banyak kalangan yang menilai bahwa menjadi dokter umum sudah tidak lagi menjanjikan kesejahteraan bagi si dokter dan keluarganya, apalagi di kota-kota besar, makanya jangan tanggung-tanggung sekalian sekolah spesialis. Modal yang dikeluarkan tentunya lebih besar lagi, tujuannya adalah berpraktek spesifik di rumah sakit, kalau sudah begini, mau tidak mau dokter spesialis tersebut harus dibayar mahal..
Strata baru pendidikan dokter layanan primer akan berimplikasi langsung terhadap pola pikir para dokter, utamanya, dalam menentukan dan memilah-milah rancangan masa depan. Disahkannya UU No 20 tahun 2013 sejak 6 Agustus 2013 telah membawa dampak yang sistematis pada sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Peraturan perundangan dan peraturan teknis turunan UU No 20 tahn 2013 yang secara fungsional penting untuk mengatur detail terkait penyelenggaraan dokter layanan primer. Kebijakan terkait hal ini sangat ditunggu karena memang secara substansial Undang-undang tak mengatur hal-hal teknis.
Yang sangat penting diketahui, bagaimana bentuk pendidikannya? Berapa SKS yang dibebankan? Berapa lama proses pendidikannya? dan bagaimana serta berapa pula pembiayaannya? Oleh sebab itu, para dokter seharusnya sangat proaktifdalam mengawal kebijakan-kebijakan turunan berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, serta peraturan teknis seperti Keputusan Menteri atau Keputusan Dirjen dalam Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait teknis dan detail penyelenggaraan Pendidikan Dokter Layanan Primer. Jangan sampai pendidikan jenis ini semakin membebani profesi dokter, tidak hanya akan merusak mental dokter yang akan jadi semakin abal-abal, atau semakin matrialistis-kapitalis. tetapi juga akan merusak pelayanan JKN secara keseluruhan.
Solusi
Menjadi dokter adalah tugas yang sangat mulia, hal ini tergambar dari sumpah dokter yang harus diucapkan ketika dokter tersebut diangkat. Jika memang pengabdiannya diharapkan ditengah-tengah masyarakat maka biaya pendidikan dan kualitas pendidikannya harus benar-benar diperhatikan dan diawasi. Tidak sembarang input yang di terima, tidak sembarang proses yang dijalani, sehingga output berupa dokter-dokter handal yang siap mengabdi betul-betul kita dapatkan.
Insentif yang layak, penghargaan yang terbaik serta motivasi yang selalu terjaga dalam diri para dokter perlu pendampingan, agar para dokter ini nyaman bekerja tidak hanya mengobati tetapi juga melakukan upaya promotif-preventif.
Seluruh kebijakan yang akan timbul dalam waktu dekat ini mengenai DLP perlu pengawalan, Peraturan Peralihan UU No 20 tahun 2013 pada pasal 63 menyebutkan bahwa pemerintah harus membuat peraturan pelaksanaan harus diundangkan paling lambat dua tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yang berarti 6 Agustus 2015. Sementara itu, sesuai dengan Pasal 60, rumah sakit pendidikan harus menyesuaikan setiap ketentuan undang-undang paling lama hingga 3 tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yaitu 6 Agustus 2016. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 59 ayat 1, fakultas kedokteran harus menyesuaikan setiap ketentuan undang-undang paling lama hingga 5 tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yakni 6 Agustus 2018.
Pada gilirannya dokter umum, dokter spesialis, dokter layanan primer, masing-masing akan memiliki perannya sendiri-sendiri, tidak perlu khawatir tidak perlu cemas, JKN dan BPJS- Kesehatan masih terus berproses untuk mewujudakn cita-cira luhurnya, masih berusia 1 tahun, masih mudah dibentuk, diarahkan, dan dibimbing supaya besarnya nanti menjadi sistem kesehatan yang membanggakan bagi bangsa Indonesia, Selamat ulang tahun yang pertama ya JKN sayang, semoga panjang umur dan semakin menyehatkan seluruh warga Negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H