Lihat ke Halaman Asli

Bulan di Atas Kuburan #BukanFilmHoror - Refleksi Diri Bagi Anak Perantauan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sama sekali tak ada satupun hantu yang muncul dalam film ini, karena percayalah, jelas ini  bukan film horor. Bulan di Atas Kuburan, mengisahkan bagaimana 3 anak muda yang melakukan urbanisasi ke Jakarta dari tanah kelahirannya, yaitu Samosir. Urbanisasi yang membawa mimpi besar nan megah dari anak pinggiran daerah, melahirkan kisah beragam ketika sudah ada di tanah perantauan. Banyak tantangan, godaan, dan cobaan yang sangat jelas berbeda dari kampung halamannya. Bukan saya mau menilai baik buruknya film ini dari tulisan saya, tapi ada hasrat dan semangat baru ketika menonton film ini. Bulan di atas Kuburan bisa dibilang salah satu film Indonesia yang menjanjikan. Film yang menggambarkan keindahan Indonesia sesungguhnya. Ada baiknya ketika film Indonesia yang dikembangkan adalah film yang menunjukkan bagaimana identitas kita sebagai Indonesia, disaat orang lain berbondong bondong berkiblat ke hollywood sana. Tak kan pernah ada yang salah ketika kita menonjolkan apa yang kita punya, yaitu kekayaan dan keindahan Indonesia yang elok ini. Film ini mengambil setting daerah Samosir, pinggir Danau Toba, Sumatra Utara, dan Tanah Batak yang digambarkan dengan sangat menghibur mata.

Film yang di daur ulang dari judul film yang sama, yaitu Bulan di Atas Kuburan (1973), dan tanpa menghilangkan esensi dari film yang terdahulu, menyiratkan makna yang dalam dan haru bagi anak perantauan. Bagaimana kita merantau, dan menimbulkan pertanyaan yang membalik ke arah kita, apa yang sudah kita berikan dengan kampung halaman kita ketika semua yang sudah kita kerjakan dan dapatkan di kota besar tempat kita merantau? Adalah suatu refleksi diri, bagi kita semua. Di saat orang orang di kampung, kerja dari pagi dan sudah berhenti di petang dan pulang untuk berkumpul dengan keluarga, orang di Jakarta kerja banting tulang dari pagi sampai dini hari, apa yang mereka dapatkan ? Keluarga yang kurang harmonis karena sibuk mengejar materi saja tiap hari sampai berganti tahun. Alangkah baiknya jika mereka mau meniatkan sedikit saja untuk mengembangkan apa yang masih berkekurangan di kampung halaman mereka sana. Kalau ada yang masih menanyakan "Mengapa perfilman Indonesia terus saja terpuruk dan tak berkembang?" Jawabannya ada di kita masing masing, tanggung jawab dan apresiasi kita itulah yang bisa mengembangkan perfilman Indonesia. Sudah  giliran diberikan tontonan berkualitas, jangan sampai kita malah tak acuh. Kalau bukan kita yang beli tiket dan nonton, siapa lagi yang mengembangkannya ? Selamat Menonton  !! Ps : Ketika soundtrack dari  film ini yang berjudul Mekkel na ma au, boleh dicek disini, https://youtu.be/JnEIObLNtKs di putar, boleh disiapkan tissue di tangan karena liriknya yang sangat menusuk. Maafkan kalau saya terlalu sensitif. Hehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline