Media sosial telah mengubah cara masyarakat bersuara. Cukup dengan satu tagar saja, suara individu bisa menggema ke seluruh penjuru negeri.
Fenomena ini dikenal sebagai hashtag activism, yaitu gerakan sosial yang berkembang melalui tagar di platform seperti Twitter (X), Instagram, dan TikTok. Di Indonesia, gerakan ini semakin sering muncul, dari seruan boikot terhadap selebriti hingga gelombang protes terhadap kebijakan pemerintah.
Namun, seberapa besar pengaruh hashtag activism? Apakah hanya sekadar tren digital, atau benar-benar bisa mengubah keadaan?
Dari Media Sosial ke Dunia Nyata
Beberapa tagar di Indonesia telah mengguncang opini publik dan memengaruhi kebijakan. Berikut beberapa contoh paling berpengaruh dalam beberapa tahun terakhir.
1. #BoikotSaipulJamil: Ketika Publik Menolak Lupa
Saat Saipul Jamil bebas dari penjara usai menjalani hukuman kasus pelecehan seksual, banyak media menyambutnya seolah-olah ia seorang pahlawan yang kembali. Hal ini memicu gelombang kemarahan publik, yang menilai kehadirannya di dunia hiburan bisa melukai korban kekerasan seksual.
Tagar #BoikotSaipulJamil pun viral, didukung petisi online yang mendesak stasiun TV dan brand untuk tidak memberinya panggung. Hasilnya?
Beberapa acara televisi membatalkan undangan untuknya, dan sejumlah brand menjauh. Ini adalah bukti bahwa suara publik di media sosial bisa memberi tekanan besar pada industri hiburan.
2. #UninstallGojek: Ketika Isu Sosial Dijadikan Alat Boikot
Pada 2018, CEO Gojek saat itu, Nadiem Makarim, diisukan menyatakan dukungannya terhadap komunitas LGBTQ+. Pernyataannya memicu protes dari kelompok konservatif yang menyerukan tagar #UninstallGojek sebagai bentuk boikot.