Dalam beberapa tahun terakhir, industri kecantikan mengalami perubahan besar dengan munculnya tren "natural beauty".
Dari kampanye no makeup makeup look, clean girl aesthetic, hingga produk skincare berbahan alami, standar kecantikan kini semakin mengarah pada kulit sehat dan tampilan minimalis.
Namun, apakah standar baru ini benar-benar membebaskan perempuan dari tekanan kecantikan? Atau justru menghadirkan tuntutan baru yang lebih membebani?
Dari Makeup Tebal ke Kulit Sempurna
Dulu, standar kecantikan berpusat pada riasan tebal dengan contouring tajam dan tampilan tanpa cela. Kini, citra ideal berubah menjadi kulit sehat, bercahaya, dan alami. Tapi, apakah standar ini benar-benar lebih mudah dicapai?
Tren seperti glass skin dari Korea Selatan dan clean girl aesthetic yang viral di TikTok menunjukkan kulit yang tampak flawless, seolah tanpa usaha. Padahal, tampilan ini pastinya merupakan hasil dari skincare berlapis-lapis, perawatan dermatologi, hingga filter kamera. Dengan kata lain, tetap ada standar tinggi yang harus dipenuhi.
Salah satu paradoks dari tren kecantikan alami adalah biayanya yang tidak murah. Produk skincare berbahan alami dipastikan lebih mahal dibandingkan produk konvensional. Mulai dari serum dengan ekstrak tumbuhan langka, sunscreen organik, hingga produk clean beauty yang diklaim bebas bahan kimia berbahaya, semuanya membutuhkan investasi besar.
Selain itu, rutinitas skincare juga semakin kompleks. Jika dulu cukup dengan pelembap dan sunscreen, kini ada double cleansing, essence, ampoule, hingga exfoliating toner yang dianggap penting untuk mendapatkan kulit sehat alami. Dengan begitu, tuntutan untuk memiliki kulit sempurna tetap ada, hanya saja dikemas dengan narasi berbeda.
Antara Media Sosial dan Narasi 'Self-Care'
Media sosial juga berperan besar dalam membentuk persepsi kecantikan alami. Influencer dan beauty content creator banyak yang mempromosikan tampilan "makeup-free" yang tetap terlihat sempurna.