Dalam dunia kerja, ada satu drama yang seolah tak pernah selesai: ekspektasi bos vs realita bawahan.
Coba ingat kembali permintaan kalau si Bos berkata, "Saya pengen tim yang inisiatif, nggak usah disuruh-suruh." Sementara bawahan membalas dalam hati, "Disuruh dong, biar jelas apa targetnya."
Hasilnya? Satu situasi yang bukan lagi di suasana kantor, tapi lebih mirip arena perang ekspektasi. Kalau Anda pernah mengalami ini, tenang, pasti Anda nggak sendirian.
Banyak bos mengeluhkan kurangnya inisiatif dari tim mereka. Harapannya, bawahan bisa membaca situasi dan bertindak tanpa perlu diarahkan.
Di sisi lain, bawahan sering merasa bingung karena arahan yang tidak jelas. Akibatnya? Proyek yang tersendat atau, lebih buruk lagi, gagal total karena miskomunikasi.
Bayangkan sebuah proyek marketing besar. Si bos berharap tim langsung "gercep" (gerak cepat) saat ada peluang. Tapi si tim berpikir, "Kan belum ada briefing, jadi kita tunggu aja." Akibatnya, peluang bisa hilang begitu saja dan yang tersisa hanyalah rasa frustrasi di kedua belah pihak.
Ada beberapa alasan kenapa ekspektasi bos dan bawahan bisa bertabrakan.
Pertama, bos sering kali terlalu sibuk dengan jadwal padat sehingga lupa memberikan arahan detail. Mereka berharap timnya "langsung ngerti" tanpa perlu banyak penjelasan.
Kedua, bawahan sering takut mengambil inisiatif karena khawatir keputusan mereka salah, terutama jika bos dikenal perfeksionis.
Ketiga, komunikasi yang kurang terbuka juga menjadi akar masalah. Baik bos maupun bawahan kadang enggan untuk bertanya atau memberikan klarifikasi, sehingga kesalahpahaman terus berlanjut.