Setiap orang pasti pernah menaruh harapan pada seseorang yang dianggap istimewa. Harapan itu tumbuh seiring waktu, seperti yang dialami oleh seseorang yang telah menjalin hubungan cukup lama dengan orang lain.
Dalam perjalanannya, ia menerima kelebihan dan kekurangan orang tersebut tanpa ragu. Ia percaya bahwa ketulusan, kasih sayang, dan doa yang dipanjatkan akan membawa hubungan itu ke arah yang lebih baik. Namun, kenyataan justru berbalik. Kepercayaan yang ia bangun perlahan runtuh oleh pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan.
Pengkhianatan itu bukan sekadar ingkar janji, tetapi luka yang menggores dalam di hatinya. Ia berulang kali bertanya dalam diam, "Di mana letak kesalahanku? Mengapa ketulusan yang kuberikan dibalas dengan kekecewaan?" Amarah, kecewa, dan rasa hancur menjadi satu, menyelimuti hari-harinya dengan rasa kehilangan.
Namun, di tengah kepedihan itu, ia perlahan menyadari sebuah kenyataan pahit: tidak semua orang mampu menjaga kepercayaan. Ada kalanya, ketulusan tidak selalu berujung pada kebahagiaan.
Butuh waktu baginya untuk memahami bahwa luka ini adalah bagian dari perjalanan hidup. Ia belajar bahwa menerima kenyataan jauh lebih bijak daripada terus memaksakan sesuatu yang seharusnya dilepaskan. Dari luka itu, ia mulai memahami pentingnya batasan dan bagaimana ia harus lebih berhati-hati dalam memberikan hati.
Berdamai dan Melangkah Maju
Pada akhirnya, ia memilih untuk menyerahkan semua rasa sakit dan kecewa kepada Tuhan. Ia yakin, Tuhan tidak pernah tidur dan mengetahui segala yang tersembunyi di balik kejadian. Ia tidak ingin lagi tenggelam dalam dendam atau terus mempertanyakan keadilan. Baginya, ini bukan lagi tentang siapa yang salah atau benar, melainkan tentang bagaimana ia bisa melangkah maju dengan hati yang lebih ringan.
Masa lalu bukan lagi musuh, melainkan guru terbaik yang mengajarkan arti ketulusan dan cara mencintai diri sendiri. Dari luka itu, ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menoleh ke belakang dengan penyesalan. Lembaran baru sudah menantinya, dan ia siap menyambutnya dengan penuh keyakinan.
Kini, ia meyakini bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari orang lain, tetapi dari kedamaian dalam diri. Ia mulai mengalihkan fokusnya pada hal-hal yang membangun, menemukan kegembiraan dalam hal-hal sederhana, dan menghargai kehadiran orang-orang yang benar-benar peduli. Masa lalunya menjadi pijakan untuk melompat lebih tinggi, bukan beban yang terus ia pikul.
Biarlah Tuhan yang membalas semua yang telah terjadi. Ia telah selesai dengan bab ini. Waktunya melangkah maju, meninggalkan bayang-bayang masa lalu dan membuka pintu menuju kehidupan yang lebih damai. Karena ia percaya, setiap luka adalah jalan menuju kebahagiaan yang lebih indah.