Di zaman serba cepat ini, multitasking sudah menjadi bagian hidup. Dari anak muda hingga orang tua, semua terbiasa melakukan banyak hal sekaligus. Bayangkan, ada yang bisa menghadiri rapat Zoom sambil menyuapi anak, atau scrolling media sosial sambil nonton Drakor.
Ya, tapi siapa sangka. Multitasking ternyata juga berlaku dalam ranah politik, khususnya pada saat mau Pilkada ini.
Fenomena politik amplop memang sudah menjadi tradisi tak resmi dalam pesta demokrasi kita. Saat musim kampanye tiba, amplop berisi uang kerap kali berpindah tangan. Ada yang udah pernah ditawarin sogokan? Kalau sekeluarga memilih calon pemimpin A, per orang bakalan dapat Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu? Hahaha.
Tapi ada tren baru memang yang semakin marak. Rakyat yang menerima amplop tanpa niat mencoblos si pemberi. Tradisi "Amplop di kantong, suara tetap di hati" pun menjadi gambaran multitasking politik rakyat zaman sekarang.
Amplop Politik: Strategi Lama yang Tak Pernah Usang
Istilah "serangan fajar" sudah lama dikenal dalam kancah pemilu Indonesia. Strategi ini biasanya dilakukan menjelang hari pemungutan suara, di mana calon atau tim sukses memberikan uang atau barang untuk memengaruhi pilihan pemilih. Di masa lalu, metode ini sering kali efektif karena masyarakat cenderung lebih tunduk pada pemberi uang.
Namun kini, cerita mulai berubah. Kesadaran masyarakat terhadap hak pilih mereka semakin meningkat. Banyak yang sadar bahwa suara mereka terlalu berharga untuk dijual. Hasilnya? Amplop diterima, tapi pilihan tetap sesuai hati nurani.
Ada yang menganggap ini sebagai bentuk perlawanan cerdas terhadap politik uang. Namun, benarkah ini solusi yang sehat untuk demokrasi kita? Ataukah justru menjadi bumerang bagi masa depan politik bangsa?
Rakyat Cerdas atau Hanya Terikut Arus?
Ketika rakyat menerima amplop tanpa memberikan suara untuk pemberi, ada dua kemungkinan yang terjadi.