Lihat ke Halaman Asli

Dawai yang Membisu

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika para dawai bergesek menyanyikan kemerduan dari hati, apakah yang terjadi? “Hai Ella,” sebuah suara menyapa. Terkejut. “Iya… Indra?” Indra hanya tersenyum dan segera mengambil tempat disamping Ella. Sedikit beringsut. Bukan risih, tapi ada sesuatu yang yang harus dijaga. Sambil meletakkan kotak biola Indra mencoba membuka percakapan. “Ikut serta latihan hari ini, Mas Adi memanggilmu juga kan?” sambil melirik pada sebuah kotak biola juga di samping Ella. Gugup. Ella hanya mengangguk. **** “Ella,” Indra berteriak memanggil terburu-buru membereskan alat musiknya, setelah latihan hari itu selesai. Ella sejenak berhenti. Kembali bergegas pergi. Dia harus pergi dari tempat ini, sebelum Frid di rumah memarahinya karena tak tepat waktu. Indra hanya dapat memandang dari kejauhan. Panggilan kerasnya seperti tak menghentikan langka Ella. Dawai terluka yang bernyanyi dalam gelisah kesendirian. Perih. Ella menghela nafas panjang. Untunglah  segera mendapat angkot pulang latihan hari ini tidak terlambat. Semoga Frid tidak marah lagi. Doanya dalam hati, sambil meraba lengan kanan yang membiru lebam tertutup kemeja. Sakit yang tersisa semalam.  Semoga tak ada yang melihatnya. Frid berubah sejak PHK dari tempat kerjanya.Mudah tersinggung, dan lebih memilih botol-botolnya. Tak peduli lagi dengan Ella, istrinya. Semalam Frid mabuk lagi, kembali Ella menjadi sasaran pelampiasan, dihempas, dipukul. Ciuman pun menjadi nafsu jalang, terburu-buru, kasar, dan menyakiti. Dan ada perempuan lain. Lebih binal. Sudut dapur yang gelap, sembab mengalir tanpa suara. Bukan karena perempuan binal itu. Semoga luka-luka ini tak mengganggu latihan, hari pertunjukan semakin dekat, Mas Adi pasti lebih keras menuntut sempurna. Harus bisa, karena ini pekerjaannya untuk mendapatkan uang yang tak mungkin dari Frid lagi. Dawai pun bernyanyi dalam kerinduan memanggil kekasihnya yang membisu. “Ah, perempuan itu…Ella…,” Indra mendesah kecewa, mungkin saja panggilannya kurang keras. Indra mengenalnya di studio Mas Adi. Seorang senior, tapi 2 tahun yang lalu tak pernah ikut latihan, baru 3 bulan lalu bergabung kembali. Indra pernah memergokinya bermain sendiri, indah, gesekan yang lembut, mengalun tapi seperti terluka. Bahkan jika saat itu ada seorang balerina, pasti akan terhipnotis menari dengan alun dawai gesek yang indah itu. Luar biasa, gesekan seorang maestro. Dua tahun menghilang dan kini bergabung kembali. Indra tahu Ella telah menikah dengan Frid, tapi bukan pernikahan yang seindah gesekan dawainya. Perempuan yang cantik dengan mata dan dawainya yang seperti menyimpan luka. Selesai latihan tadi, Indra berharap dapat mengajaknya bercakap-cakap, sekedar berkabar yang menghilang. Serta sebuah tanya  tentang lebam di lengan kanan Ella saat mengangkat busur biola tadi. Bisa saja mungkin karena terjatuh. Semoga bukan.. aaah Indra pun kembali membereskan alatnya. Menyimpan kembali pertanyaan itu. Busur itu takkan melukai dawai, dia hanya menggesek agar dapat memberi nada yang indah. Sore itu Indra sengaja menunggu Ella di depan gedung tempat mereka berlatih. Indra melihatnya turun dari sebuah angkot. Wajah Ella pucat, nampak tak sehat. “Hai, sendiri? Tidak diantar Frid?” Ella menggeleng sambil meneruskan langkah. Indra pun bergegas berjalan disampingnya. Tak sulit, karena Ella tak berjalan cepat, malahan terlihat sedikit limbung. Benar saja, ketika menaiki tangga depan, Ella hampir terjatuh. Sigap Indra menolong, lengan kanan Ella ditangkapnya erat. “Aduh,” Ella meringis menahan sakit, pegangan Indra terlalu kuat dan membuka lebam yang tertutup rapat oleh lengan baju. “Ella…. Luka ini… Kamu terjatuh?” terbata Indra bertanya. “Indra, tolong lepaskan…. sakit,” kemudian Ella segera merapikan lengan bajunya, menutup rapat kembali luka itu. “Jangan bilang ya, aku hanya terbentur kemarin di pintu angkot.” Indra menatap Ella. Diangkatnya wajah itu. “Frid yang melukaimu?” Ella tersenyum, “Aku mencintainya.” Mereka pun berjalan memasuki gedung, Indra mencoba melindungi Ella, tangannya menyentuh punggung Ella. Tapi ditolak dengan tersenyum, “ Tolong, jangan.” Indra tahu, pasti ada luka lagi disana. Bolehkah dawai itu menolak memberikan nada yang indah, jika busur itu semakin menyakitinya? “Ella!!” Indra menghentikan mobilnya ketika dilihatnya Ella sedang menunggu angkot. “Mau kemana? Ayo kuantar.” Terlihat ragu. Tapi akhirnya Ella pun bersedia. “Dari mana, mau kemana?” Indra membuka tanya. Ella hanya diam tak menjawab. “Mmm… kulihat kamu membawa kotak biolamu, hari ini tak ada latihan, jadi ada apa?” Tetap diam tanpa jawab. Sebuah titik basah mengalir di pipi. Indra melihatnya. Dan segera mengulurkan selembar tissue. “Oh Ella, ada apa denganmu? Baiklah, kuharap kamu tidak keberatan, ini yang terdekat adalah ke apartemenku, kita ke sana.” Indra pun memacu secepat mungkin. Memasuki  apartemen Indra. Ella menangis tanpa suara. Mereka duduk di sofa itu. Indra mencoba memeluk Ella. Sedikit menjauh berusaha menolak. Mereka saling berpandang. Indra memegang wajah Ella, menghapus air mata.  Ella tak menolak. Ella perlahan melepas  pashmina yang menutup tubuhnya. Kemudian berbalik memunggungi Indra, diangkatnya geraian rambut panjangnya. “Indra, bukalah gaunku.” “Tapi Ella….” “Bukalah kau akan tahu,” suara Ella memohon dengan punggung menghadap Indra. Indra pun menurut. Perlahan. Restliting itu dibuka. Ella hanya memejamkan mata, dan air mata yang semakin deras. “Oh Ella… Fridkah yang melakukan ini?” terbelalak Indra, melihat semua parutan luka dipunggung Ella. Bekas luka, luka baru, luka akan sembuh, bahkan ada yang bernanah. Dibaliknya segera tubuh Ella, direngkuhnya dengan hati-hati tubuh itu ke dadanya, dan diciuminya rambut dan wajah Ella. “Aku mencintainya Indra, aku sangat cinta. Apapun yang dia lakukan terhadapku aku terima, karena aku mencintainya,” dalam gugu Ella berusaha menjelaskan. Indra menahan keinginan merengkuhnya lebih dalam . Ingin melindungi perempuan ini. Perempuan yang 2 tahun lalu dicintainya diam-diam. Dalam diam jeda panjang mereka hanya berbincang dalam hati. “Ella, di mana Frid sekarang?” tanya Indra masih memeluk Ella. “Aku… aku mencintainya Indra, tapi aku harus melakukannya, aku harus pergi.” Ella melepaskan diri. Digapainya kotak biolanya itu dan dibukanya. Sebuah biola Ella yang biasa dimainkan, tapi kini biola  itu retak, dan masih ada bercak darah segar serta beberapa lembar rambut yang tersangkut di retakan itu. “Ada seorang bayi disini, dan itu cinta kami yang harus diselamatkan.” Dawai pun tak sakit, tapi tak ada nada indah lagi. Membisu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline