Fenomena kafir-mengkafir orang lain di luar ajaran tertentu, semakin banyak saja. Ada yang mengatakan "kafir" karena orang lain memeluk keyakinan di luar ajaran agamanya. Ada juga yang mengatakan "kafir" kepada kaum sesamanya dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu hal.
Terkadang saya bertanya dalam hati, apakah dengan meng-kafir-kan orang lain maka diri kita mendapatkan pengakuan yang sah / mutlak tentang kebenaran sudut pandang kita? Apakah dengan meng-kafir-kan orang lain maka serta merta kita telah / langsung mendapatkan tiket ke surga? Apakah dengan meng-kafir-kan orang lain maka diri kita serta merta mendapatkan "bintang kehormatan" berupa lingkaran kuning di atas kepala seperti malaikat? Jawabannya bisa anda temukan sendiri di dalam hati nurani anda, bukan dalam akal pikiran anda....
Yesus mempertegas Hukum Taurat di dalam Lukas 10:25-28 tentang hukum terutama di dunia ini, yakni hukum Kasih yang berbunyi "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Dan Yesus mempertegas definisi "manusia" yang dimaksud pada ayat tersebut di Lukas 10:29-37 dengan menceritakan tentang orang Samaria yang baik hati. Disini dengan gamblang Yesus memberikan contoh bahwa jabatan seseorang (imam / pemimpin rohani) dan identitas lahiriah seseorang (lewi merupakan salah satu suku yang mempunyai kedudukan khusus diantara ke 12 suku Israel) tidaklah menentukan perilaku seseorang dalam mempraktekan keyakinannya. Justru sebaliknya, belas kasihan, cinta kasih dan sifat-sifat kemanusiaan bisa saja datang dari kaum yang selama ini bersebrangan / kafir (dalam cerita ini adalah orang Samaria).
Saya percaya bahwa hidup di dalam dunia ini adalah ujian untuk menghadapi kehidupan kekal yang telah menunggu. Dan saya yakin setiap orang pasti mengalami berbagai ujian dengan kadar yang sama, hanya saja bentuk ujiannya yang berbeda (ini opini saya pribadi). Dan salah satu ujian tersebut adalah sudut pandang diri kita mengenai kesadaran pluralitas (baca: kemajemukan masyarakat) selagi kita hidup di dalam dunia ini.
Bagi saya pribadi, saya tidak mau hidup dalam pengkotak-kotakan kafir / non-kafir...karena saya tidak mau paranoid ketika nanti ada -meminjam istilah- orang kafir yang membantu saya....
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H