Lihat ke Halaman Asli

Semua Bisa Menulis Cerpen

Diperbarui: 25 Oktober 2015   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

OLEH: MUSTAFA ISMAIL | @musismail

 

Semua Bisa Menulis Cerpen. Mungkin sebagian orang menganggap kalimat itu sebagai "menggampangkan" persoalan. Tapi sesungguhnya, persoalan ini memang mudah. Saya sangat yakin bahwa semua orang bisa menulis. Entah menulis cerpen, novel, puisi, esai, ficer, naskah teater, skenario (sinetron/film), dan sebagainya. Masalahnya hanya pada: apakah orang itu tertarik atau tidak. Jika tertarik, tidak ada hal yang tak mudah. Tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan, termasuk menulis. Jadi modal utama dalam melakukan apa pun, termasuk menulis, "mencintai" dulu pekerjaan itu.

Dalam istilah anak mudah zaman dulu, "Kalau sudah cinta tahi kambing terasa kembang gula", haha... Agak komedikal, tapi begitulan kekuatan "cinta" -- dalam maknanya paling luas: bisa menggerakkan apa pun. Bahkan cinta bisa memindahkan batu gunung. Ada kekuatan luar biasa di dalamnya. Tidak percaya? Coba ingat-ingat kegiatan apa yang paling anda senangi dan Anda kerjakan dengan sangat bersemangat lalu hasilnya begitu memuaskan. Sebagian besar orang menyebut "Passion". "Kerjaain ini passion gue."  Itu terjadi dalam bidang apa pun, termasuk bidang menulis.

Satu lagi ketika sesuatu kita kerjakan dengan rasa cinta: kita tidak perdanah menyerah jika belum berhasil dan tidak pernah puas terhadap hasil yang sudah kita capai. Kita selalu ingin melakukan sesuatu yang baru, ingin lebih baik, lebih berhasil, lebih memuaskan, dan lebih.... Dalam dunia menulis, semua penulis melakukan jalan terjal untuk mencapai sebuah "puncak" tertentu. Kata "puncak" sengaja saya kutip karena puncak itu sangat relatif. Sebab, di atas puncak pasti ada puncak lagi. Di atas lagit pasti ada langit. Jadi, puncak bagi seseorang mungkin baru sekedar langkah kedua bagi orang lain.

JK Rowling, penulis Harry Potter, pernah puluhan kali naskah novelnya itu ditolak penerbit. Sebuah catatan menyebutkan bahwa ada 43 agen dan 53 penerbit yang pernah menolak naskah itu. Tapi, ia tidak pernah putus asa dan kecewa. Ia tetap berusaha dan terus menulis. Hingga akhirnya "dunia" berpihak padanya dan ia memetik manfaat dari keteguhan dan tidak cepat putus asa itu. Saya kira banyak penulis lain juga merasakan hal serupa, termasuk saya, hehe.  Cerpen saya baru dimuat di sebuah koran besar ibu kota -- yang semua penulis ingin sekali mempublikan karyanya di situ-- setelah beberapa tahun saya kirim terus-menerus. Saya tidak puas hanya dimuat di koran-koran kecil, apalagi koran lokal di daerah saya di Aceh. 

Koran adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh penulis. Mengapa penulis perlu mengirimkan karyanya ke koran? Sebab, dengan begitulah ada dorongan agar ia terus belajar. Koran adalah arena kompetisi paling baik bagi penulis. Dari sekian ratus karya cerpen yang dikirim ke sana tiap pekan, hanya satu yang dipilih untuk dimuat di koran itu. Apa bukan kompetisi yang baik? Bagi yang belum dimuat tak perlu berkecil hati. Artinya, ia harus belajar lagi dan berlatih lagi agar suatu kali tulisannya terpilih oleh editor koran itu untuk dimuat.

Lalu kembali ke persoalan awal, benarkah menulis cerpen itu mudah? Iya, sangat mudah. Asal Anda bisa menulis surat untuk orang tua atau menulis email untuk kawan, sahabat, pacar, etc., pastilah mudah. Sekarang, mari kita mulai saya. Hidupkan komputer atau  buka aplikasi "note" di telepon pintar anda, atau ambil kertas. Coba perhatikan apa yang paling menarik di sekitar Anda untuk menjadi lead atau kalimat pembuka cerpen. Kalau Anda di rumah, coba perhatikan dinding, mungkin di sana ada sebuah foto keluarga atau sebuah lukisan pemandangan yang rada aneh, atau apa pun. Lalu, mulailah menuliskan objek itu dan diskripsikan (gambarkan) secara detil. Lalu, bayangkan kisah tertentu di balik foto keluarga, atau lukisan tadi, dan tuliskan.

Misal, anda bisa menuliskan seperti ini:

LELAKI ASAP

Padi-padi itu berwarna hitam. Sawah berwarna hitam. Bukit-bukit berwarna hitam. Pohon-pohon di bukit itu berwarna hitam. Langit gelap. Semua gelap. Tertutup asap. Lamat-lamat dalam lukisan pemandangan itu keluar sosok-sosok tubuh yang hitam. Gelap. Pekat. "Saya adalah lelaki asap," kata salah seorang di antara mereka. "Kami datang dari Kalimantan dan Sumatera," ujarnya lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline