Ketika SMA dulu, saat pembukaan pendaftaran Akabri, sekolah kami didatangi oleh para taruna. Mereka bercerita tentang hal yang "enak enak" selama di asrama. Taruna dari AAL menceritakan pengalamannya ikut KRI Dewaruci ke Jepang, keliling ASEAN dan berbagai negara lainnya.
Pada sesi terakhir, ketika ditanya siapa yang ingin ikut tes Akabri, seingat saya, hanya saya "satu satunya" anak lelaki yang tak berdiri. Berarti, 99%, minus saya, pingin punya pangkat dipundak. Ada lelucon, kalau anak anak minta nasehat ke bapaknya:
Anak 1: pak, saya ingin jadi duta, sekolah apa yang bagus?
Anak 2: pak, saya ingin jadi pilot, sekolah apa yang bagus?
Anak 3: pak, saya ingin jadi professor, sekolah apa yang bagus?
Anak 4: pak, saya ingin jadi Menteri, sekolah apa yang bagus?
Bapak yang bijak hanya punya satu jawaban, sekolahlah di Akabri anak ankku! Di era orde baru, tak ada profesi dan gelar akademik yang tak dirambah oleh Tentara dan Polisi. Pangkat jenderal, gelar professor dan rektor perguruan tinggi sangat banyak. Ketua DPRD provinsi banyak yang hanya berpangkal kolonel. Bupati banyak yang mayor.
"Demand" Lebih Tinggi Dari "Supply"
Beda dengan di Denmark atau negara Skandinavia. Ini diantara dialog saya:
Saya: kalau untuk jadi petani bagaimana caranya?
Orang Denmark: Ya, masuk sekolah tehnik pertanian. Kamu tidak hanya belajar cara bercocok tanam, tapi cara memperbaiki traktor, cara memasarkan produk dan cara pinjam uang di bank.