Lihat ke Halaman Asli

Di Perpustakaan (4)

Diperbarui: 23 Maret 2016   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ccerita sebelumnya di sini

Tidak yang lebih menyenangkan dari cuaca yang cerah di musim penghujan. Angin yang sepoi-sepoi. Langit kembali biru murni. Awannya pun sangat putih bersih. Sayangnya kehidupan tidak di atas sana. Kehidupan berada di bumi ini. Inginnya terbang ke  atas sana. Tapi itu tidak mungkin, karena aku tak memiliki sayap.

Baru sampai di tempat parkir, kutatap lantai dua suatu gedung besar di depanku. Aku harus menghela nafas panjang menyadari kehidupan tidak lagi di bumi yang luas ini, tetapi hanya akan berada satu ruangan beratap plafon dengan angin buatan. Tidak bisa lagi menikmati hijau di antara debu dan asap.

Tenang. Itulah keadaan perpustakaan ini. Mungkin tidak hanya di sini, tapi di semua perpustakaan. Sekilas kulihat Pak Sujono duduk sendiri membaca surat kabar di kantornya. Itu adalah rutinitas beliau yang kuamati yang berarti beliau baru datang. Pasti fikiran masih segar dan masih bisa menampung ide-ide.

“Assalmu’alaikum” kuketok pintu kantor kubuka sedikit daun pintu.

“Iya Andi, silahkan masuk.. Ada apa?” Pak Sujono merendahkan surat kabarnya.

“Begini pak, saya ada satu usulan. Kita belum ada tempat untuk barang hilang atau barang ketinggalan. Mungkin bisa berupa kotak, box, atau etalase” Aku langsung saja berterus terang.

Kulihat Pak Sujono berfikir dan berdehem. Hampir tiga tahun di sini, aku mulai tahu sikap-sikap beliau ketika berhadapan dengan sesuatu. Termasuk cara berpikirnya yang cukup lama walau untuk masalah-masalah sepele. Dan anehnya pikiran panjang itu biasanya diakhiri dengan tanggapan sederhana. Sempat menjadi berbincangan di antara rekan-rekan pustakawan ketika kusinggung hal itu. Aku jadi menyesal, karena ternyata tidak ada yang menyadarinya. Serasa bagiku seperti membuka aib seseorang, padahal itu tidak juga bisa disebut sebagai aib.

“Nanti saja, sekalian nunggu anggaran utuhnya cair. Biar lebih mudah” Jawab beliau memotong lamunanku.

“Jadi anggarannya belum cair pak?” Tanyaku heran.

“Iya belum, tahu sendirilah birokrasi kita seperti apa. Niatan baik itu banyak rintangannya” Beliau berkedip kepadaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline