Permasalahan yang masih banyak dibicarakan di Indonesia adalah tentang pernikahan beda agama. Indonesia merupakan negara yang beragam baik itu suku, budaya, ras dan agama. Pemerintah indonesia telah mengakui ada 6 agama di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Sehingga tidak heran akan timbulnya pernikahan antar umat agama yang berbeda. Dengan demikian bukan berarti tidak akan muncul permasalahan bahkan sering muncul kontroversi di kalangan masyarakat.
Dalam islam pernikahan adalah sunnatullah salah satu tujuannya untuk meneruskan keturunan. Namun karena adanya perbedaan sehingga harus melewati gesekan sosial dan budaya yang berbelit, selain itu juga akan muncul konflik dengan keluarga, kerabat dan masyarakat setempat. Dalam islam kesempurnaan kehidupan keluarga juga tergantung dengan agama yang sama, apabila pasangan tersebut berbeda agama pasti akan kesulitan dalam melaksanakan ibadah, mendidik anak, mengatur makanan, tradisi dan yang lainnya. Maka yang terjadi, banyak pasangan memilih menikah di luar negri atau bahkan harus mengakhiri hubunganya.
Meskipun demikian bukan berarti pernikahan tidak bisa dilaksanakan di dalam negri. Pernikahan dapat terlaksana jika pasangan meminta penetapan pengadilan yang berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan pernikahan yang berbeda agama karena kantor catatan sipil tugasnya mencatan bukan mengesahkan. Namun hanya kantor catatan sipil tertentu yang mau menikahkan pasangan yang berbeda agama dan itu juga dicatat sebagai pernikahan non-islam.
Banyak cara yang dilakukan oleh pasangan agar dapat terlaksananya pernikahan seseuai agama yang dianutnya, misalnya melakukan pernikahan dua kali dengan ketentuan agamanya masing-masing namaun cara tersebut juga akan muncul pertanyaan apakah pernikahan tersebut sah. Cara lainya dengan berpura-pura pindah agama dalam waktu tertentu, namun hal itu juga tidak diperbolehkan karena sama saja mempermainkan agama.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah jelas mengatur bahwa:
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Dengan demikian pernikahan dapat dikatakan sah sesuai ketentuan hukum di dalam agamanya masing-masing, jika dalam hukum agamanya sah sama halnya dengan hukum negara pernikahan tersebut juga sah, namun sebaliknya jika dalam hukum agama pernikahan itu tidak sah berarti dalam hukum negara juga tidak sah tergantung dengan ketentuan hukum agamanya masing-masing. Dan disinilah muncul berbagai kontraversi yang dapat meresahkan keluarga dan masyarakat, sehingga perlu adanya pembahasan yang lebih mendalam.
Dalam pandangan islam pernikahan beda agama tidak diperbolehkan hal tersebut tertuang dalam firman Allah SWT surah Al- Baqarah ayat 221 Artinya; Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Adapun tiga kategori pernikahan beda agama menurut fiqih klasik antara lain;
- Pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab
- Sebagian ulama ada yang menghukumi itu boleh, makruh dan haram. Adapun yang menghukumi pernikahan itu boleh merujuk pada Q.S Al-Maidah (5) ayat 5;
- "Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
- Namun lebih banyak ulama yang menghukumi pernikahan itu haram menurut berbagai pertimbangan dan keputusan;
- Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI melarang pernikahan antara orang muslim dan non muslim (baik ahl al-kitab maupun bukan ahl al-kitab), baik laki-lakinya yang muslim maupun perempuannya yang muslimah. Dengan pertimbangan untuk menghindari kerugian(mafsadat) yang lebih besar daripada keuntungan (maslahat) yang ditimbulkan, dengan merujuk pada teori hukum
- "Menghindari kerugian (mafsadat) lebih utama daripada mengambil kebaikan (maslahat)."
- Menurut Mazhab Hanafi, hukum menikahi perempuan Ahl-kitab ada tiga yaitu; Mubah (boleh) yaitu ahl-kitab yang mempercayai seorang nabi dan kitab yang diturunkan oleh Allah Swt. (Yahudi dan Nasrani), Makruh Tahrim yaitu menikahi perempuan kitabiyah yang ada di daar al-harbi karena akan muncul pintu fitnah dan mafasid, Makruh tanzih yaitu perempuan ahl-kitab zimmi karena menghalalkan minum arak dan daging babi.
- Menurut mazhab Malikiyah, hukum menikahi perempuan Ahl-Kitab adalah; makruh mutlak baik itu dzimmiyah (yang tunduk pada aturan pemerintahan Islam) maupun harbiyah (yang memusuhi islam), haram mutlak yaitu menikahi perempuan kitabiyah dikhawatirkan berpengaruh pada anaknya dan meninggalkan agama ayahnya.
- Menurut mazhab syafii, hukum menikahi perempuan Ahl-kitab adalah; makruh, namun makruh disini juga ada syarat-syaratnya; 1) Mengharapkan perempuan Ahl-Kitab tersebut untuk memeluk agama islam, 2) Masih ada perempuan muslimah yang memberikan kebaikan kepadanya, 3) Dikhawatirkan jika tidak dapat menikahinya akan melakukan perbuatan zina, Haram apabila menikahi perempuan yang menganut yahudi dan nasrani setelah al-quran diturunkan.
- Menurut mazhab Hambali, hukum menikahi perempuan Ahl-kitab adalah; Boleh apabila yang menganut agama yahudi dan nasrani sebelum diutus Nabi Muhammad Saw.
- Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik
- Para ulama telah berpendapat bahwa haram seorang laki-laki isalam menikahi perempuan musyrikah, berdasarkan Q.S Al-Baqarah ayat 221
- Penafsiran dari ayat tersebut menurut Ath- Thabari adalah larangan bagi orang muslim untuk menikahi perempuan musyrik. Dan apabila telah melakukan pernikahan Allah memerintahkan untuk menceraikannya. Begitu pula dengan laki-laki muslim dilarang untuk mempertahankan pernikahanya jika perempuan tidak ikut hijran dengan suaminya. Sesungguhnya ikatan pernikahannya telah putus disebabkan kekufuran, karena Islam tidak membolehkan menikahi wanita musyrik.
- Pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki non islam
- Para ulama telah sepakat bahwa hukum pernikahan tersebut haram, yang berdasar dengan Q.S A-Baqarah ayat 221 baik calon suami dari golongan Ahl-Kitab ataupun yang lainya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dengan orang musyrik menurut hukum islam adalah haram sedangkan menikahi perempuan Ahl-kitab ada beberapa mazhab yang membolehkan dan mengharamkannya tergantung pemahaman terhadap golongan Ahl-kitab. Namun pada intinya penulis memberikan pendapat, kebolehan menikahi perempuan Ahl-kitab di tengah kehidupan modern saat ini adalah hanya ditunjukan bagi laki-laki muslim yang kuat imannya sebagai misi dakwah dalam menyebarkan islam. Haram jika laki-laki tersebut lemah imannya karena khuwatir akan pindah agama dari islam (murtad).