Lihat ke Halaman Asli

Hidup Sebagai Sarana Pembelajaran

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbagai persoalan hidup dialami oleh setiap mahkluk hidup di bumi. Manusia, binatang, tumbuhan, semua memiliki jiwa. Hanya karena kita manusia sebagai mahkluk yang diberi akal, pikiran dan nurani, yang bisa mengungkapkan semua yang dialami di masa kehidupannya (biasanya keluhan-keluhan aja yang diungkapkan/jarang bersyukur) itupun hanya sebagian kecil dari kita yang menyadari hakekat kita sebagai manusia dilahirkan dan hidup di bumi.

Sebenarnya kalau kita mau sedikit membuka hati untuk memahami kehidupan yang lain selain kehidupan manusia, mungkin rasa bersyukur kepada Pencipta kita akan semakin bertumbuh. Tetapi di masa sekarang, kita (termasuk saya) masih disibukkan dengan hal-hal berbau duniawi, sehingga sering kali mengabaikan hal di luar itu. Bersyukurlah bagi kita yang mulai menyadari tujuan keberadaan/kelahiran kita di bumi ini.

Memang tidaklah mudah melepaskan keterikatan kita terhadap semua yang berbau duniawi, memang kita dilahirkan untuk belajar melepaskan diri dari keterikatan kita. Kitatidak bisa secara langsung bebas, selangkah demi selangkah kita belajar melepaskan diri dari keterikatan, hati yang paling berperan disini, lingkungan sebagai object.

Bisakah kita mengabaikan apapun yang pernah dan sedang kita alami? Sulit? Benar, memang sulit, untuk itulah kita dilahirkan. Kita abaikan kesedihan, kita menerima kebahagian, semua merupakan tahapan menuju kesadaran. Kita boleh senang sedih, cinta benci, tapi jangan berlebihan, bahasa Jawanya Ngono yo ngono ning ojo ngono, kita semua bisa bayangkan, bagaimana kalau kita berlebihan dalam semua hal, pasti hasilnya tidak begitu bagus, intinya kita tetap harus berusaha menahan nafsu duniawi, ojo diumbar, saya juga sedang berusaha keras untuk melepaskan diri dari keterikatan duniawi, pertama saya mencoba untuk mengabaikan semua kegagalan2 hidup saya, mengabaikan bukan berarti tidak perduli, tapi sebagai cermin, jangan sampai terulang kesalahan demi kesalahan, belajar melihat hukum sebab akibat sebagai sesuatu yang sangat nyata.

apabila saat ini kita sedang kesusahan atau bahagia, pandanglah itu semua sebagai bagian dari apa yang seharusnya memang kita dapatkan dan seharusnya kita jalani. Tidak perlu komplain, mencari kambing hitam penyebabnya (terutama kalau kita lagi susah, kebanyakan dari kita pasti cari2 penyebab kesusahan itu), untuk apa kita sibuk cari kambing hitam, semua permasalahan ada di hati kita. Kalau kita selalu ihklas menerima semua pemberian Tuhan (Nrimo ing pandum), insyaallah, hidup kita akan tenang.

Memang tidaklah mudah untuk mengajak sesama kita untuk menuju kesadaran, masing-masing kita mempunyai takdir untuk bisa menerima ataupun menolak, tumbuhnyapun adalah merupakan takdir, tidak ada batasan waktu dalam hal ini, masing-masing individu berbeda tingkat kecepatannya, ada yg cepat ada yg lambat bukan main ada juga yang tidak bisa tumbuh biarpun sampai mati. Ya sudahlah, biarkan saja, kita masing2 punya jalan hidup. Saya masih harus belajar banyak tentang hakekat hidup.

Akhir kata, mohon maaf atas kesalahan dan kebingungan pembaca pada tulisan saya, maklum, ini kali pertama sy menulis setelah bertahun-tahun cuma jadi pembaca di kolom Humaniora Kompasiana. Salam bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline