Lihat ke Halaman Asli

Pesan Kemanusiaan Gus Dur dalam Imlek

Diperbarui: 10 Februari 2016   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gus Dur-Tionghoa (nugallery)"][/caption]Orang Tionghoa di Indonesia sedang berbahagia seiring hadirnya Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek 2567, menjadi bagian dari ekspresi kultural orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perayaan Imlek tidak hanya ramai diselenggarakan di Klenteng, namun juga menjadi ritual tradisi di masjid, gereja, bahkan sebagai kirab massal.

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Yogyakarta, menyelenggarakan Imlek di Masjid Syuhada’. Orang-orang Tionghoa bersama warga pribumi Jawa di Surakarta bahkan menyelenggarakan Imlek dalam tradisi Jawa, dengan ritual Grebeg Sudiro. Di Semarang, perayaan Imlek juga dinikmati warga lintas etnik, dengan mengunjungi beragam festival di kawasan Pecinan. Pembauran lintas etnik inilah yang menjadikan momentum Imlek sebagai peristiwa penting. Akulturasi tradisi ini menjadi jembatan untuk menegosiasikan ritual antar sekat etnis dan agama.

Penyelenggaraan meriah tradisi Imlek, tak lepas dari peran Gus Dur. Pada masa Soeharto, warga Tionghoa tidak boleh menampakkan ekspresi kultural dan religiusnya di panggung publik. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang menjadi produk hukum rezim Orde Baru, melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Peristiwa tragis pada Mei 1998 menjadi puncak represi Soeharto, yang membawa korban bagi orang Tionghoa yang meninggal, kehilangan rumah dan pekerjaan.

Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, ia mencabut Inpres Nomor 14/1967, lalu menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru pada era kepemimpinan Presiden Megawati, mulai tahun 2003 Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Perjuangan Gus Dur

Kebijakan Gus Dur membuka kran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur ini mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur ini menjadi bagian dari politik identitas, untuk mencipta harmoni keindonesiaan.

Atas sumbangsih Gus Dur, pada 10 Maret 2004, kelompok keturunan Tionghoa di klenteng Tay Kek Sie Semarang, menahbiskan mantan presiden RI tersebut sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”. Secara garis besar, alasan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, dapat diteropong dari empat sudut pandang; perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa, serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan. Gus Dur, dalam beberapa ceramah juga mengaku sebagai keturunan Tan Kim Han, yang merupakan pejuang Tionghoa muslim ketika merebut Kerajaan Majapahit. Makam Tan Kim Han di pekuburan muslim Troloyo, Mojokerto.  

Penahbisan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada masa itu memang menjadi perdebatan, ada yang mendukung, namun juga ada yang mencibir bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Apalagi, jejaring komunitas dan ekonomi Tionghoa menjadi sangat penting di Indonesia, khususnya sebagai pendukung politik. Pendapat yang terakhir ini dapat dipatahkan, sebab pada kenyataannya, Gus Dur tak hanya memihak pada kelompok Tionghoa semata. Namun, secara luas berpihak pada kaum lemah (mustadh’afin) dan pihak-pihak yang selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya dan agama.

Jika ditelusuri lebih detail, Gus Dur sebenarnya mendasarkan keyakinan perjuangan untuk membantu warga yang lemah dan margnial, bersumber pada keyakinan teologis. Gus Dur berpijak pada pandangan universal tentang kedamaian dan humanisme universal. Pada setiap penyelenggaraan Imlek, keberpihakan dan pesan kemanusiaan Gus Dur menjadi bagian penting sebagai refleksi.

Perjuangan Gus Dur dalam membela orang Tionghoa, sejatinya didasarkan pada pemahaman kuatnya terhadap kaidah hukum Islam (fiqh dan ushul fiqh), serta pengalaman keluarganya—terutama Kakek dan ayahandanya—dalam berinteraksi dengan semua golongan. Gus Dur membela orang-orang yang tertindas, sebagai manifestasi pesan agama dan nilai kemanusiaan. Sekarang, orang-orang Tionghoa dapat berkiprah di bidang politik, pendidikan, dan budaya, tidak terbatas pada bidang ekonomi semata.

Warga negeri ini perlu menyegarkan kembali perspektifnya tentang kemanusiaan, kebhinekaan dan kebangsaan. Dari refleksi Imlek, kita belajar dari Gus Dur, belajar dari Guru Bangsa[].

 

 --Munawir Aziz, Koordinator Teraju Indonesia, (@MunawirAziz)

--Artikel dimuat di Tribun Jateng-Kompas Group, Senin, 8 Februari 2016.

--Sumber foto: website nugallery.net




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline