“Once in a blue moon”
Entah angin apa yang menyeretku sampai ke tempat ini. Taman dengan kolam koi. Kabut masih menggantung diantara dedaunan pohon akasia yang tegak meneduhkan taman. Mataku menerabas sekeliling. Barisan lampu taman dengan konsep kerajaan kuno terlihat kokoh namun ramah. Dia masih belum datang. Sudah limabelas menit dari waktu yang kami sepakati. Terlalu pagi memang, tapi kami sepakat bertemu di sini, jam setengah enam.
Belum pernah kami bertemu seperti ini sebelumnya, setelah pertemuan bertema persaingan empat tahun silam, dan pertemuan tak sengaja tiga tahun silam di tengah jalan. Hari ini, kami menyengaja. Entah bagaimana mulanya, hampir tengah malam tadi, kami bersepakat melalui percakapan sosial media.
Sudah hampir setengah jam. Jam di tugu tengah bundaran menunjukkan pukul enam. Aku mulai gentar, cemas atas kemungkinan ketidakdatangannya. Dimanakah dia?
Kuraih handphone di kantong celana olahraga. Kucari namanya di daftar kontak. Call. No answer. Recall. No answer. Sudah empat kali. Gusar menyergap, kemudian kuputuskan berjalan-jalan kecil membunuh gundah. Kakiku mengarah pada bundaran dengan pusat tugu. Kunaiki tangga kecil yang dikelilingi kolam dan taman. Matahari masih memancarkan secercah jingga dengan malu-malu. Di arah yang sama dengan munculnya surya, tersapu oleh pandangku sebuah taman dengan bangku-bangku permanen bertema klasik. Taman berkanopi Thunbergia dengan pagar Acalypha Siamensis. Ah, tidak. Jangan hidupkan lagi déjà vu dua tahu silam.
Di tengah kecemasan paramensia, telepon bergetar. Namanya muncul. Kutatap layar sekali lagi. Benar, dia menelepon. Entah bagaimana cara kerja organ tubuh, jantung terasa panas, mungkin setara atlet marathon setelah menyelesaikan misinya. Perasaan ini, seperti rasa yang muncul saat menunggu pengumuman lomba. Tepat seperti perasaanku empat tahun silam, saat akhirnya diumumkan namaku menjadi runner up. Tepat satu peringkat di bawah namanya. Dia yang saat ini aku tunggu.
“halo..kamu dimana? Kok gak ada? Aku udah di pinggir kolam Koi nih.” Seperti biasa, kata-katanya cepat dan menyerang.
“aku di bundaran. Kamu lama sih.”
“hahaha. Sorry. Ketiduran habis subuh. Hahaha. Cepetan ke sini!” tawanya renyah. Seperti biasanya.
Entah berapa kecepatan jantung saat itu, prediksiku sudah melebihi kecepatan kereta ekonomi Penataran. Jalan dari bundaran ke kolam koi yang hanya sekitar dua puluh meter terkesan dramatis, seperti adegan slow motion di sinetron. Kaku dan berlebihan. Diantara jalan yang sengaja kuperlambat, kupaksa otak memikirkan cara elegan agar tak tampak kikuk dan mati gaya. Ini pasti akan menjadi aksi berat. Tekanan hati yang menghambat kinerja otak. Seberat apapun, kupastikan otakku bekerja sekeras mungkin. Di depan dia, aku tak mau terlihat bodoh karena dikuasai perasaan.
Dia sudah terlihat. Hanya berjarak sekitar tiga meter. Duduk di bangku taman panjang yang terbuat dari batu hitam, menghadap kolam koi. Memakai jersey Manchester United dengan celana olahraga panjang hitam.
“Jal” sapaku datar
“heeeii…ayok langsung sprint?” cerocosnya tanpa basa-basi
“eh”
“iya. Kita sprint sekarang. Mumpung masih seger udaranya”
Kami mulai mengelilingi lapangan, terus ke belakang gedung rektorat dan Fakultas MIPA. Di tengah lari yang menguras tenaga, sebenarnya pengendalian perasaan yang lebih membuatku berkeringat deras. Dia terus mengoceh. Tetap, tentang mimpinya, rencana-rencana masa depannya, kegiatan sosial dan ambisinya. Bahasanya kasual, temponya cepat, dan gaya bicaranya cerewet, sama sekali tidak menunjukkan kemiripan dengan sifat cool tokoh anime favoritku, Irie Naoki. Tapi begitulah misteri, tak ada yang tahu bagaimana proses ilmiah terbentuknya perasaan itu. Getaran yang aneh.
“Kamu jago IELTS kan? Aku mau dong diajarin” tepat di seberang bundaran dia bicara. Masih sambil berlari. Disaksikan Thunbergia yang tersenyum di atas kanopi.
“Eh” aku tertegun. Mengingat sebuah déjà vu. Kalimat itu, tempat ini, udara pagi dan kabut tipis, persis. Acalypha Siamensis yang ditumbuhi benalu mie kuning tertawa getir. Paramnesia sebuah drama. Dengan orang yang berbeda.
“Iyaa..pagi-pagi gini, gak usah tiap hari sih. Seminggu 3 kali gitu” masih dengan tempo cepat menyerang.
Deg. Aku diam.
“Professional? No worries. I’ve prepared it” kata-kata itu, persis. Hanya beda bahasa.
“Aku bukan profesional di bidang itu. Emm.. atau mungkin belum” aku mencoba mencari rasionalisasi penolakan.
Pagi itu, entah paramnesia atau aku melewati batas dimensi waktu. Aku seperti kembali ke dua tahun lalu. Hanya saja, dengan berbeda orang.
Otakku mulai memikirkan film-film science fiction tentang time machine. Aku berusaha mengembalikan daya pikirku tapi sulit. Hanya satu yang terpikir, mengubah alur. Aku tidak mungkin kembali ke alur yang persis dengan dua tahun lalu.
“Maaf, aku gak bisa” hanya sebatas itu dayaku mengubah cerita.
“Kenapa?”
“kamu udah pinter. Belajar aja sendiri”
“hahaha” tertawanya renyah
Dia sangat cerewet. Itulah paradoks yang membuatku bingung, banyak orang mengatakan dia pendiam dan acuh. Tak mau banyak berbicara apalagi bercanda. Pun banyak cemooh yang menyebutnya sombong, angkuh. Tapi toh aku tak peduli. Bagiku, dia seperti yang tampak. Renyah dan menyenangkan. Bersamanya seperti tertular energy positif, tentang mimpi dan semangat hidup. Diskusi dengannya selalu hidup. Meriah. Kecuali hari ini, hari dimana di otakku terputar sebuah paramnesia drama.
Tepat tiga kali putaran, kami istirahat. Kembali ke tempat awal pertemuan. Tepi kolam Koi. Lemas mematung. Aku kehilangan daya. Sementara dia masih seru bercerita tentang mimpinya, rencana-rencana besarnya, dan sudah sejauh apa dia melangkah. Perih. Inilah paramensia itu. Orang yang berbeda dengan alur cerita yang persis sama. Tiba-tiba aku beruntung bukan dilahirkan sebagai anak indigo, sehingga tak bisa kuramalkan akhir dari cerita ini. Dibalik diam yang kosong, masih kusimpan harapan bahwa akhir cerita ini akan berbeda dengan cerita dua tahun lalu.
“Udah siang” dua kata yang sedari tadi kutunggu untuk sisipkan diantara jeda bicaranya.
“masih jam sepuluh”
“udah siang itu. Aku mau pulang”
“ah..gak asik kamu”
“biarin. Aku pulang sekarang” aku melangkah. Berharap dia tidak memanggilku.
“Lin”
Deg. Sekali lagi sama. Aku menoleh.
“Iya. Kapan-kapan mungkin ya. Daa..sorry aku buru-buru”
Kupercepat langkah pulang. Sampai di rumah, bergegas menghambur ke kamar dengan perasaan gundah. Laptop kubuka dengan tergesa-gesa. Analisis perbandingan.
Rizal dan Oki. Jurusan yang sama, prestasi yang sama, mimpi yang sama, kenangan dan tempat yang sama, bahkan dialog yang nyaris serupa. Hanya dua yang belum sama: kehadiran orang ketiga dan seorang sahabat.
Dua tahun lalu, dalam kondisi yang sama sepulang belajar IELTS bersama Oki, kulirik sosial media. Tampak Oki mengupdate status sebuah lirik lagu berjudul “marry your daughter” kemudian diakhiri dengan kalimat “mention ke siapa yaaa :D”. Saat itulah ia muncul, Laudya. Seorang yang sekarang mendampinginya, menjadi bidadarinya. Menjemput mimpi berdua, ke Irlandia, Negara yang juga akan dituju oleh Rizal sebagai tujuan studinya.
Belum ada daya untuk menghubungkan modem. Tanganku kaku. Tapi rasa penasaran menguasai. Klik. Connect. Facebook.
Rizal Pradana. Namanya muncul. Dia menuliskan sebuah post.
“Rizki itu tidak akan kemana, kalau tidak sekarang, mungkin nanti, besok atau lusa”. No Likes. 4 comments. Sarah Azmi. Dua komentar menggetirkan yang semakin melengkapi dialog paramensia.
Sarah Azmi: Masa?
Rizki Pradana: hahaha. Aku mention loh ya?
Sarah Azmi: hehehe
Fredy: tapii jemput bro. :D
Komentar terakhir yang mengindikasikan bahwa rizki yang dimaksud bukan berupa harta, tapi manusia. Di Like oleh Rizal.
Hatiku kembali retak. Persis. Siapa Sarah Azmi? Dia terlihat bersemangat. Tinggal satu hal dalam cerita yang membedakan kisah ini dengan kisah terdahulu. Seorang sahabat.
Aku menghibur diri dari kekalahan kisah masa lalu. Itu bukan kekalahan, hanya memilih mempertahankan seorang sahabat, yang juga menyimpan hati padanya, Oki. Dengan lantang Citra menyatakan akan ikhlas melepas Oki hanya jika Oki tidak memilihku. Kisah ini, mungkin berbeda, aku tidak punya teman dekat yang kenal dengan dia. Kalaupun ada, itu hanya kenalan yang sama, bukan seorang sahabat seperti Citra, yang saat itu menggilai Oki.
Cling. Sebuah pesan masuk di chat. Ana. Seorang sahabat yang sedang berada di tempat jauh.
Deg. Hatiku kembali kaku. Mungkinkah ini paramensia pamungkas? Tapi dia tidak mengenal Rizal. Tidak, semoga tidak.
Ana: Liiin. Perlu bantuanmu. Banget. Buat Dina.
Aku: Kenapa Dina?
Ana: Lagi galau tingkat world cup
Aku: Ha?
Ana: Dia naksir temenmu, anak Teknik itu. Rizal. Naksir maksimal sampai hampir berbuat nekat. Please help!
Tenggorokanku masih belum tersentuh cairan setelah keringat terkuras untuk mengelilingi lapangan rektorat. Kini makin tercekat. Kering. Tak kusangka satu momen lagi juga sama. Persis. Aku makin putus asa. Mataku menatap kosong ke layar laptop.
Aku: Apa yang bisa aku bantu An?
Ana: Minta tolong sampaikan laah. Please! Semua udah kehilangan akal nih. Keluarga Dina kehabisan ide membujuk. Kalaupun ditolak, setidaknya Dina menerima penjelasannya langsung dari Rizal.
Aku: Aku? Menyampaikan itu? Aku gak yakin. Kenapa gak kamu aja?
Ana: Masalahnya aku kan gak kenal sama Rizal. Gak mungkin dong tiba-tiba kenalan terus nyampein ini. Apalagi Rizal cuek dan angkuh gitu. Kalo kamu kan udah dekat, jadi kan gampang. Please yaa. Dina pernah mau kabur dari rumah loh..
Hatiku mulai ngilu. Jari-jari mulai kehilangan daya menyentuh keyboard. Chat ter-pause. 10, 15, 20 menit tanpa perkembangan. Kemudian Ana muncul lagi.
Ana: hey. Kenapa diam? Eh. Atau jangan-jangan kalian dekat? Dan berita ini membuatmu patah hati?
Semakin tak ada ide untuk menjawab. Sedikit demi sedikit kukumpulkan energi. Kupulihkan logika. Hingga sebuah kalimat akhirnya bisa tertulis.
Aku: Ok An. Akan aku sampaikan.
Ana diam. Tak ada kata dari Ana setelah itu. Hanya sticker dengan ekspresi terkejut dan penuh tanya.
Off chat.
Lama kutatap layar monitor yang sudah hitam. Off. Masih tak kusangka kemiripan ini. Masih belum bisa kuterima prediksi masa depan yang akan terjadi. Di episode sebelumnya, Citra, Oki, Laudya dan Aku. Dengan skenario yang sangat mirip, kini sebuah cerita tertulis dengan tiga tokoh yang berbeda, tapi masih dengan tokoh “aku” yang sama: Aku, Dina, Rizal,mungkinkah Laudya di cerita ini adalah Sarah?
Tuhan, aku tahu aku tak berhak memberikan prediksi atas ini. Tapi aku juga perlu mempersiapkan mental. Be ready for the worst. Walaupun, aku masih berharap kisah ini memiliki ending yang berbeda dari sebelumnya.
Oh iya, belum aku sampaikan satu hal. Oki dan Rizal memiliki ideologi yang sama. Salah satu prinsip mereka: tidak pacaran, langsung menikah.
It’s a drama. Indeed!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H