Pada september 2016 lalu, jagat netizen ramai memperbincangkan tentang seorang Diplomat muda Indonesia yang berani berbicara secara lantang dan secara tegas melakukan conter terhadap tudingan beberapa negara kepulauan pasifik (Solomon, Vanuatu, Nauru, Kep. Marshall serta Tuvalu dan Tonga) yang melontarkan kritik tentang kebijakan pemerintah di Papua yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dalam sidang PBB.
Berita tentang hal tersebut, secara cepat menyebar dan muncul dalam berbagai laman portal berita online, serta tentunya timeline media-media sosial serta grup WA. Hampir setiap postingan, repost atau share tetnang berita tersebut dilangkapi dengan nuansa kebanggaan dan optimisme yang luar biasa akan masa depan diplomasi Indonesia.
Tindakan diplomat muda (perempuan) tersebut setidaknya membuncahkan kebanggaan akan dua hal, yang pertama adalah nasionalisme dan yang kedua hadirnya diplomat muda yang berkualitas dan berani serta mampu membela kepentingan dan harga diri bangsa Indonesia.
Berbeda dengan yang lain, salah satu akun facebook justru menuliskan sudut pandang yag berbeda tentang hal tersebut. Bahwa keberhasilan diplomasi bukan hanya dilihat dari kemampuan melakukan counter tetapi lebih dari itu adalah kemampuan untuk merubah pandangan negara-negara yang selama ini mendukung OPM untuk berbalik dan mendukung posisi Indonesia selaku negara yang berdaulat penuh atas wilayah Papua.
Dan kini, kasus yang serupa kembali terjadi, sebagaimana yang diberitakan oleh kantor berita Reuters bahwa Ketua OPM Benny Wenda berhasil menemui Komisioner Tingi HAM PBB Micchelle Bachele (25/1)t dan menyerahkan petisi yang berisi tanda tangan 1,8 juta warga papua sebagai dukungan untuk referendum kemerdekaan Papua.
Sebuah pertemuan yang mengejutkan dan layak disesalkan, karena kehadiran Benny Wenda di KTHAM tersebut "menumpang" kunjungan resmi delegasi Vanuatu ke Komisioner HAM.
Keberhasilan Benny Wenda "mendapatkan tumpangan" untuk menemui komisioner HAM merupakan pukulan telak bagi diplomasi Indonesia. Bagaimana tidak, Vanuatu sebagai sebuah negara yang sejajar secara kedaulatan dengan Indonesia lebih memilih memberikan dukungan kepada OPM untuk memperjuangkan cita-citanya.
Atas fakta tersebut maka secara realitas kita harus mengakui bahwa persoalan gerakan pro-kemerdekaan Papua bukan sekedar persoalan internal Indonesia, melainkan telah bergeser menjadi lebih luas ke masuk kedalam ranah diplomasi internasional.
Meski belum menjadi negara, gerakan pro-kemerdekaan Papua telah secara massif dan intensif melakukan lobi-lobi internasional terhadap organisasi internasional dan negara-negara lain agar apa yang mereka cita-citakan mendapat dukungan sehingga jalan untuk terpisah dari Indonesia menjadi semakin terbuka lebar.
Dengan lobi-lobi tersebut, tekanan untuk Indonesia bukan hanya dari kelompok pro kemerdekaan melainkan juga dari negara lain dan lembaga-lembaga internasional. Kondisi demikian tentulah harus di antisipasi secara serius oleh pemerintah kita, selain protes secara resmi tentunya kita juga harus dan memprioritaskan misi-misi diplomasi ke negara-negara pasifik sebagai salah satu strategi utama dalam upaya merebut dan mendapatkan dukungan terkait permasalahan OPM.
Jika pada tahun 1955 melalui konferensi Asia-Afrika di Bandung Indonesia mampu mendapatkan dukungan internasional untuk perjuangan mengembalikan Irian Barat dari Belanda, maka tentunya ada jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan kembali dukungan dunia internasional, khususnya negara-negara pasifik yang secara geografis bersebelahan rumah dengan kita.