Sejatinya waktu itu adalah milik Allah Swt, berjalan atas ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Waktu diciptakan untuk manusia, sebagai kesempatan untuk melakukan segala aktifitas kehidupan dengan batasan durasi yang telah ditentukan. Maka kewajiban kita terhadap waktu adalah mensyukurinya, dan menjauhkannya terhadap hal-hal yang mendatangkan kemubaziran.
Dalam perjalanan kehidupan manusia, waktu hanya terbagi dalam tiga konsep sederhana meliputi dulu/kemaren, sekarang dan yang akan datang/esok yang secara simultan bergerak maju dan bertransformasi sebagai sebuah siklus. Hari ini berubah menjadi kemaren, dan esok hadir sebagai saat ini.
Waktu, sesuai dengan ketetapan yang telah diputuskan atasnya, akan terus berputar tanpa mempedulikan apa dan bagaimana kehidupan manusia yang berlangsung di dalamnya, serta siapa yang mengisinya. Kehidupan silih berganti, mengusung zaman yang secara perlahan mengalami perubahan, namun waktu tetaplah hanya satu.
Seumpama kereta api, waktu adalah gerbong yang terus bergerak menuju tujuan akhir. Ada penumpang yang terus berada didalamnya sampai pemberhentian terakhir, ada banyak pulan yang turun ditengah perjalanan, dan digantikan dengan penumpang yang baru.
Dengan perkembangan pemikiran dan peradabannya, manusia kemudian memberikan penanda atas waktu yang telah dijalani dengan melekatkan padanya nama, angka atau istilah. Waktu tidak lagi sekedar masa kehidupan, namun berubah menjadi sebuah satuan hitung.
Perubahan tersebut secara perlahan membuat waktu juga dipandang sebagai perhitungan untung-rugi. Sebuah qoute familiar yang berasal dari barat menyatakan bahwa waktu serupa dengan uang dengan sudut pandang profit atau produktifitas. Sementara sebuah pepatah arab dalam bentuk lain namun dalam sudut pandangserupa menyatakan bahwa waktu laksana sebuah anak panah, yang tidak bisa ditarik kembali (di ulangi) apabila telah dilepaskan dari busurnya.
Apapun yang dilakukan oleh manusia, waktu akan terus berjalan karena waktu tidak bergantung kepada manusia, tetapi sebaliknya manusia yang bergantung kepada waktu. Seumpama sebuah bola yang dilemparkan ke langit, maka bola tersebut akan kembali jatuh ke bumi.
Waktu tidak akan menadapatkan keuntungan apa-apa dari hal positif yang dilakukan oleh manusia, dan juga tidak mendapatkan kerugian sedikitpun jika manusia melakukan keburukan. Sebaliknya, keuntungan dan kerugian atas perilaku tersebut kembali kepada manusia yang menjalani dan melakukannya.
Waktu juga dipandang sebagai ukuran daya tahan (endurance) dalam bentuk seleksi alam yang berlaku dalam semua aspek kehidupan manusia. Siapa yang mempu bertahan dalam standar waktu yang ditentukan, serta siapa yang tersisih. Siapa yang tetap ada dan bertahan setelah seratus hari, enam bulan, satu tahun, atau lima tahun.
Keberhasilan untuk tetap bertahan mendorong lahirnya kegembiraan layaknya ujung sebuah kompetisi. Kegembiraan yang diwujudkan suasana psikologis senang dan gembira, atau yang di wujudkan dalam berbagai bentuk perayaan seperti ulang tahun, tahun baru dan perayaan-perayaan lainnya yang menandai terpenuhinya suatu periode (siklus waktu).
Di luar perdebatan tentang perlu atau tidaknya sebuah perayaan, maka sesunguhnya terdapat beberapa corak pengalaman manusia dalam bentuk perkembangan, kesinambungan, pengulangan dan pengulangan.