"Saya perlu waktu lama untuk jadi Presiden Republik Indonesia. Saya menganggap itu sebagai bagian penggembelengan, bagian pendidikan, saudara-saudara sekalian. Sebenarnya capek juga 20 tahun ya kan, 2004, 2009, 2014, 2019, baru tahun 2024. Tapi mungkin itu yang membuat, perjalanan itulah yang harus saya tempuh,
Hal tersebut disampaikan oleh Yth. Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya di Puncak Acara HUT Partai Golkar, di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).
Sebuah gambaran bagaimana beliau tetap komitmen terhadap tujuan. "Istiqomah", sebuah nilai yang mudah diucapkan namun pasti sulit dilakukan.
Berangkat dari pidato tersebut, maka sudah sepatutnya komitmen tersebut dituangkan dalam konsep perencanaan pembangunan yang untuh dan bersifat jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Terkadang ekspektasi tidak dapat dicapai secara instan.
Jadi untuk apa memaksakan harus ada prestasi dan perubahan dalam 100 hari kerja kepala Negara atau kepala Daerah terpilih ?
Konsep Program 100 hari kerja biasanya digunakan sebagai indikator awal kinerja pejabat publik atau kepala pemerintahan setelah dilantik. Konsep ini menawarkan rencana aksi cepat untuk menunjukkan komitmen terhadap janji kampanye atau mengatasi masalah mendesak di masyarakat. Praktik ini sering diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, penilaian 100 hari kerja presiden menjadi tradisi sejak masa reformasi. Istilah ini digunakan untuk menilai komitmen presiden dan kabinet dalam mewujudkan janji-janji kampanye.
Tradisi ini mulai muncul di Indonesia sejak era reformasi, tepatnya saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur).
Hal tersebut tentunya bisa dimaklumi karena saat itu disadari perlunya pondasi awal yang kuat untuk toleransi dan persatuan bangsa.. Namun apakah konsep 100 hari kerja masih relevan untuk saat ini ?