Lihat ke Halaman Asli

Khulfi M Khalwani

Care and Respect ^^

Mencegah Populisme dengan Hutan Sosial

Diperbarui: 4 April 2018   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Sebuah artikel yang tayang di Kompas.com lebih dari setahun yang lalu (15/01/2017) menarik untuk saya ungkap kembali. Artikel tersebut berjudul "Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Dinilai Memicu Populisme". Sejumlah pengamat memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena populisme di Indonesia. 

Kesenjangan sosial memicu lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah dan beralih pada tokoh-tokoh populis. Tokoh populis yang cenderung anti-demokrasi dan anti-pluralisme itu dipercaya membawa ide-ide kemakmuran bagi rakyat. 

Untuk mencegah meluasnya fenomena populisme di masyarakat, pemerintah harus bisa menciptakan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kualitas dinilai mampu mempersempit kesenjangan sosial, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Pada artikel lain di Kompas.com yang berjudul "Populisme, Kesenjangan, dan Ancaman terhadap Demokrasi" (16/01/2017), Pengamat Intelijen Soeripto J. Said menilai bahwa Indonesia sedang mengalami penyebaran fenomena populisme. Gejala ini muncul karena sumber daya alam dikuasai oleh korporasi. 

Korporasi melakukan pendekatan kepada pusat pengambil keputusan yang terkait dengan kebijakan publik. Sehingga kebijakan publik terkesan mementingkan pihak pemodal dan merugikan kepentingan nasional. Bahkan kebijakan publik itu dianggap penjajahan bentuk baru di bidang ekonomi. Maka berkembanglah rasa kekecewaan publik terhadap pemerintah dan menimbulkan berbagai gerakan protes.

Kesenjangan ekonomi dan sosial tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia dan terus mengalami peningkatan. The World Wealth and Income Database (WID.world) dalam World Inequality Report 2018 menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 peningkatan ketimpangan penghasilan berlangsung dengan kecepatan yang berbeda di berbagai belahan dunia. 

Data ini diukur berdasarkan berapa banyak dari total pendapatan sebuah negara yang dimiliki 10% orang terkaya di negara tersebut. Timur Tengah adalah kawasan yang paling timpang, dimana 10% masyarakat dengan penghasilan teratas memegang lebih dari 60% pendapatan negara secara terus menerus. Selanjutnya diikuti oleh India, Brazil, kawasan Sub Sahara di Afrika, Amerika Serikat dan Kanada, Rusia, kemudian Tiongkok.

Bagi negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan sumber daya alam seperti Migas dan atau hasil bumi lainnya, cenderung lebih rentan terhadap konflik yang dipicu ketidakmerataan ekonomi karena akses terhadap sumber daya tersebut hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Kondisi tersebut dapat menjadi ancaman karena bisa  dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik internal maupun eksternal, untuk semakin mempertegas jurang pemisah antara kaum elite dengan rakyat.

Untuk di Indonesia, BPS menggunakan koefisien gini yang didasarkan pada kurva lorenz untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini berkisar antara 0 sampai 1. Apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.

Berdasarkan data BPS sejak tahun 2002, ketimpangan tertinggi terjadi pada semester II tahun 2014, yaitu sebesar 0,414. Kemudian terus mengalami tren penurunan hingga 2017. Adapun provinsi yang memiliki koefisien gini tertinggi (diatas rata-rata nasional) pada semester II 2017 ialah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Papua.

Dokumentasi pribadi

Menurut data yang dirilis BPS, pada September 2017 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,391. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,393. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,394 turun sebesar 0,003 poin. Gini Ratio di daerah perkotaan pada September 2017 tercatat sebesar 0,404, turun dibanding Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,407 dan Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,409. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline