Lihat ke Halaman Asli

Khulfi M Khalwani

Care and Respect ^^

Melihat Satwa Langsung di Habitatnya, Taman Nasional Sebangau

Diperbarui: 7 Mei 2017   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orangutan liar di Taman Nasional Sebangau | [Foto: Khulfi M Khalwani]

Jaka dia haranan ranggau
dia manjadi sarangan antang
jaka dia haranan ikau
dia baka ateikuh hetang

Inilah penggalan lirik dari lagu berjudul “Buah Karuhei” yang menemani perjalanan kami menuju Desa Baun Bango di bulan Desember tahun lalu. Sebuah lagu tentang perasaan jatuh cinta yang mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat Kalimantan Tengah. Artinya kurang lebih, “Jika tidak karena pohon tak berdaun, tak kan jadi sarang burung elang. Jika bukan karena kamu, hatiku tak akan galau begini”.

[bekas tambang rakyat di Katingan, foto : Khulfi M Khalwani]

Dengan mengendarai mobil double cabin, saya bersama Mas Didid, yaitu seorang teman yang bekerja di Ibu Kota Jakarta, melaju dari kota Palangkara Raya melewati kota Kasongan kabupaten Katingan, lalu berbelok di daerah Kereng Pangi.

Setelah melewati jalan lintas Kalimantan, potret hutan yang telah terbuka akibat pertambangan rakyat dan pemandangan kebun sawit menjadi bagian yang tersaji di kiri kanan jalan bertanah yang kami lalui. Tujuan kami adalah untuk melihat langsung kehidupan orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus wurmbii yang masih liar di sungai Punggualas, Taman Nasional Sebangau.

Melihat Orangutan Bercinta di Sebangau

Ini bukan kali pertama saya ke sini, tapi untuk Mas Didid saya yakin ini akan menjadi perjalanan yang amazing. Sebelum memulai backpacking kali ini, kami mampir ke kantor Balai Taman Nasional Sebangau di Palangkaraya.

Selain mengurus ijin masuk kawasan, kami juga berkesempatan untuk bertemu dengan Kepala Balai, yaitu bapak Adib Gunawan. Pada kami beliau menjelaskan bahwa kawasan Sebangau adalah sebuah kawasan pelestarian alam yang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sejak tahun 2004. Dengan luas lebih dari setengah juta ha yang terhampar di kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Mandau , perisai dan kecapi

Dilihat dari penutupan lahan Kalimantan Tengah, terlihat bahwa kawasan TNS sangat penting keberadaannya bagi perlindungan dan pelestarian satwa liar. Hal ini karena habitat satwa liar di sekitar kawasan telah berubah fungsi menjadi areal penggunaan lain, terutama di areal eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar yang telah dikonversi menjadi lahan budidaya.

Dari hasil survei tahun 2004, diketahui bahwa kawasan TNS merupakan habitat terbesar populasi satwa langka Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus) yaitu sekitar 6000 individu.

Kekhasan kawasan ini ialah ekosistem rawa gambut, yang dicirikan dengan lapisan tanah histosol yang terbentuk dari sisa-sisa tanaman atau lapukan bahan organik pada daerah cekungan yang selalu tergenang dalam jangka waktu yang sangat lama. Akumulasi bahan organik inilah yang mengakibatkan airnya berwarna kehitaman namun menyegarkan, sehingga sering juga disebut sebagai ekosistem air hitam.

Memasuki sungai Panggualas | Foto : Khulfi M Khalwani

Kawasan Sebangau diapit oleh Sungai Katingan di sebelah barat dan Sungai Sebangau di sebelah timur. Sebelum menjadi kawasan konservasi, Sebangau adalah bekas kawasan HPH yang open akses dan marak illegal logging. Sisa–sisa kanal yang dibuat untuk mengeluarkan gelondongan kayu dari dalam hutan menuju sungai masih banyak dijumpai.

Danau Bulat di desa Jahanjang

“Untuk ke dalam kawasan bisa melewati sungai Sebangau, melalui dermaga Kereng Bengkirai yang berjarak tempuh 15 menit dari kantor Balai, atau melewati sungai Katingan kurang lebih 2 jam melalui Kasongan," kata Pak Adib menjelaskan.

“Kami mau yang jauh dulu pak lihat spot orangutan di Katingan, besok baru lanjut ke Pulang Pisau lewat Sungai Sebangau melihat proses sekat kanal gambut untuk restorasi ekosistem gambut di Sebangau.” Kami pun berpamitan.

[sarang orangutan yang masih baru Foto : Khulfi M Khalwani]

“Itu Sungai Katingan mas. Di seberang sana itu kawasan taman nasional. Sungai Panggualas itu sungai kecil dari dalam kawasan yang bermuara di Sungai Katingan. Nanti kita lanjut naik spedboat selama 1 jam ke arah selatan, melewati Desa Jahanjang dan Desa Keruing. Habis itu kita naik klotok,” kata saya pada Mas Didid sambil menunjuk ke arah hamparan hijau di seberang sungai saat sampai di Desa Baun Bango.

“Keren mas bro. Ini baru kali ini aku ke Kalimantan,” jawab Mas Didid sumringah.
“Kalau mau nelpon isteri sekarang aja mas. Di sana nggak ada sinyal,” kataku.

Kereng bengkirai

Sebelum turun ke sungai, kami sempatkan bertemu salah seorang tokoh desa, Pak Surahmansyah, masyarakat kader konservasi Desa Baun Bango yang dulunya seorang mantan pembalak hutan. Selain itu kami juga menyambangi rumah tokoh adat di sana. Sempat kami berpose dengan koleksi mandau dan alat musik kecapi miliknya.

Orangutan liar siap bercinta

Jika ada acara Tiwah, tempat ini sangat ramai. Tiwah adalah upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, khususnya Dayak pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Sayangnya kedatangan kami tidak bertepatan dengan momen tersebut. Tentunya selain potret alam bebas, akan banyak atraksi budaya yang bisa kami lihat.

Naik speedboat di sungai Katingan di bawah terik surya, kemudian naik klotok (sampan mesin) melalui sungai kecil yang dinaungi kanopi belantara dataran rendah yang tersisa, pastinya akan menjadi momen yang tidak akan dilupakan. Khususnya bagi Mas Didid yang selalu dikelilingi tembok ibu kota.

Menunggu orangutan liar singgah

Sesampai di Camp Punggualas di tengah hutan, kami disambut oleh teman-teman mitra taman nasional yang sedang melakukan penelitian orangutan di sana. Sempat terperangah Mas Didit saat melihat ada camp di tengah hutan yang fasilitasnya bisa dikatakan cukup nyaman dan dilengkapi toilet.

Camp ini dilengkapi jalur-jalur papan untuk tracking. Dengan mengetahui sebaran pohon yang menjadi sumber pakan orangutan dan kapan musim berbuahnya, kita bisa memprediksi dimana kira-kira orangutan itu berada. Orangutan adalah satwa arboreal yang menghabiskan banyak waktunya di atas pohon.

Bersama masyarakat desa Kruing di Punggualas

Saya cukup memahami tempat ini, karena beberapa tahun yang lalu pernah membuntuti tingkah polah orangutan liar di tempat ini. Mulai dari senja saat dia membuat sarang, berupa cabang dan ranting hidup yang disusun.

Kita bisa menyaksikan dia bangun di pagi hari dan langsung mencari makan, kemudian menebarkan biji buah sisa makanannya ke lantai hutan, bercinta saat bertemu lawan jenis, makan lagi dan membuat sarang kembali di tempat yang lain. Jangan pernah membayangkan orangutan liar sebagai peliharaan. Karena mereka liar dan ganas.

Buah tutup kabali | Foto : Khulfi M Khalwani

Pada bulan Desember, pohon tutup kabali (Diospyros bornensis) dan Gantalang (Garcinia sp) sedang berbuah. Ini adalah makanan favoritnya orangutan. Saya sangat bersyukur bisa menjumpai orangutan langsung saat sore menjelang.

Orangutan menabur benih

Gemuruh ranting dan daun-daun menandakan ada yang bergerak di atas sana, yang tak lain adalah orangutan liar. Bisa melihat langsung orangutan di alam bebas adalah suatu kesempatan yang mahal di bumi ini. Siapapun bebas memberinya sebuah nama di alam.

Orangutan Sang Raja Tajuk | Foto Khulfi M Khalwan

Keletihan kami seakan terbayarkan sudah, malam ini kami beristirahat di camp di atas rawa di tengah hutan. Keesekon paginya kami kembali ke Baun Bango. Kami sempatkan mampir di Desa Jahanjang untuk melihat beberapa ekor Bekantan yang ada di Danau Bulat dan aktivitas masyarakat yang sedang menimbang gulungan rotan sebagai hasil hutan non kayu da menjualnya kepada pengepul.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline