Sebelum masa kolonial Belanda, di Tanah Karo telah ada sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Tercatat ada empat kerajaan di Tanah Karo pada masa pra kolonial dengan hak dan kekuasaan yang sama, dikenal dengan sebutan "Raja Berempat".
Keempat kerajaan itu adalah kerajaan Sarinembah dengan raja bermarga Sembiring Milala, kerajaan Suka dengan raja bermarga Ginting Suka, kerajaan Lingga dengan raja bermarga Karo-karo Sinulingga, dan kerajaan Barusjahe dengan raja bermarga Karo-karo Barus.
Pada masa kolonial, Belanda mengakui satu lagi kerajaan yang berkuasa di Tanah Karo, yakni kerajaan Kuta Buluh dengan raja bermarga Perangin-angin. Namun, sebutan terhadap kesatuan kerajaan yang berkuasa di Tanah Karo itu tetap disebut sebagai "Raja Berempat".
Struktur pemerintahan di Tanah Karo sebagaimana dijelaskan dalam sebuah buku berjudul "Barus Mergana" (1977) yang ditulis oleh Sibayak Mandur Barus. Ia merupakan raja terakhir kerajaan Barusjahe dengan gelar Sibayak Kerajan Barusjahe.
Uniknya, struktur pemerintahan pada masa kerajaan itu dimulai dari susunan pemerintahan di dalam rumah adat Karo. Secara umum pada masa itu rumah adat terdiri atas rumah si empat jabu (4 keluarga dalam satu rumah), rumah si waluh jabu (8 keluarga dalam satu rumah), dan rumah si sepuluh dua jabu (12 keluarga dalam satu rumah). Namun, yang paling umum dijumpai adalah rumah si waluh jabu.
Baca juga: Melihat dari Dekat Sisi Lain Keunikan Rumah Adat Karo di Desa Dokan
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan di kerajaan Barusjahe sebagaimana juga berlaku di kerajaan lainnya di Tanah Karo, berturut-turut dari tingkat paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi adalah sebagai berikut.
1. Rumah Si Waluh Jabu
Di dalam rumah adat, pemimpin pemerintahannya disebut pengulu rumah. Kekuasaannya terbatas untuk urusan-urusan tertentu dan hanya di dalam rumah adat dan wilayah pekarangan rumah adat saja.