Untuk segala sesuatu yang terasa enak pun ada batasnya. Sebab, apa pun yang melampaui batas bisa menjadi penyakit dan mendatangkan masalah.
Herakleitos menganalogikan perubahan dalam hidup sebagai sebuah aliran sungai. Panta Rhei, selalu berubah dan mengalir, tidak ada yang tetap.
Perubahan dan perkembangan berbagai bidang kehidupan turut menyebabkan perubahan cara manusia dalam memandang dan memahami makanan.
Melalui tulisan ini, penulis hanya ingin mendokumentasikan sebuah kearifan lokal di Tanah Karo sebelum ia ikut tergilas aliran perubahan. Kearifan lokal dalam sebuah sajian masakan khas yang dinamakan lomok-lomok.
Lomok-lomok biasanya disajikan sebagai lauk pada saat pesta adat atau makan besar. Acara adat pada masyarakat Karo, baik acara suka maupun duka (terutama sebelum masa pandemi Covid-19), dilakukan di sebuah balai adat yang disebut jambur dengan mengundang kerabat dan handai taulan yang jumlahnya bisa mencapai ribuan orang.
Asal dan Arti Kata Lomok-lomok
Saya pribadi tidak pernah mendapatkan penjelasan pasti dari para orang tua tentang asal dan arti kata lomok-lomok.
Dilansir dari kamusbatak.com arti dari kata lomok-lomok adalah lunak-lunak.
Dalam kamus bahasa Batak Toba, Op. Faustin Panjaitan, Depok: 2010, lomok-lomok disebut sebagai kata dalam bahasa Batak yang berarti daging babi kecil.
Pada masyarakat Toba memang ada juga sajian khas yang mirip dengan lomok-lomok Karo, yang disebut dengan saksang.