Manusia senantiasa merindukan hidupnya menjadi lebih baik dan lebih bermartabat. Begitu juga denganku, pikir Lius. Kerinduannya sebagai manusia tidak ada bedanya dengan manusia-manusia lain di luar sana.
Adakah jalan memenuhi kerinduan itu melewati jalan sepi? Adakah kemungkinan mendapatkan ketenangan melalui keterasingan?
Lius belajar dari penuturan kakek neneknya sejak masa kecil, bahwa menjalin relasi yang baik dengan manusia-manusia lain merupakan jalan menuju keutuhan. Sebab kata kekeknya, dari relasi-relasi itulah dimungkinkan mengalirnya berbagai informasi.
Lius menggugat pikirannya sendiri. Ia butuh ketenangan. Untuk bisa tenang dia merasa perlu adanya keheningan.
Dalam relasi antar manusia, semata-mata dia hanya menemukan keriuhan. Lius menemukan paradoks dalam kemanusiaannya. Paradoks dalam keheningan yang riuh.
Terngiang sebuah ungkapan dari Gabo dalam benaknya. Gabriel Garcia Marquez, sang nobelis sastra tahun 1982 yang dikenal juga sebagai Gabo mengatakan bahwa dia berkomunikasi dengan dirinya secara efektif hanya sejauh dia berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam kaitan itu tidak mungkin menjadi manusia seutuhnya dengan hidup terasing dari yang lain, pikir Lius.
Pikiran yang berkecamuk di tempurung kepalanya menyebabkan ketegangan dalam jiwanya. Lius marah, tapi entah kepada siapa.
Ia merasa tidak mengenal dirinya sendiri. Hingga kemudian terjadilah perjalanan tarik-menarik menggapai ketenangan dalam kesendirian di tengah keriuhan hidupnya yang bagai pasar itu.
Ia membangun kesadaran bahwa hanya dengan berkomunikasi dengan orang lain ia dapat lebih mengenali dirinya. Dan ketika ia lebih mengenali dirinya, ia pun dapat mengenali ruang tempatnya berada.