Dampak disrupsi teknologi dan perubahan pandangan terhadap gaya hidup bergerombol, terutama pada masa pandemi, tidak luput jua sudah menjangkau desa-desa. Salah satu contoh kecil bisa kita temukan dalam pergeseran gaya angkutan pedesaan.
Pada masa-masa sekitar 20 sampai 10 tahun yang lalu, mayoritas moda transportasi umum pedesaan di Tanah Karo adalah berupa minibus. Bahkan di beberapa desa yang terjauh, dengan kondisi jalan yang belum mantap, hanya bisa dijangkau dengan kendaraan double gardan. Jumlah angkutannya pun hanya ada satu dua.
Setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini, saya menemukan lebih banyak alternatif angkutan pedesaan pada desa-desa di Tanah Karo. Salah satunya adalah beca bermotor yang dimodifikasi ini.
Suatu ketika, saya berbincang dengan Markiano Ginting dan Gandi Sitepu. Kedua orang ini adalah pengendara beca motor di desa Kubu Simbelang, kecamatan Tigapanah, kabupaten Karo.
Menurut penuturan Markiano Ginting, saat ini ada 12 unit beca bermotor di desa ini. Dia sendiri sudah menjalani profesi ini sejak 2,5 tahun yang lalu.
Ada cerita yang menarik di balik latar belakang kemunculan moda transportasi yang satu ini. Sebenarnya sudah ada minibus yang menjadi angkutan dari dan ke desa ini pada masa-masa sebelumnya.
Saya ada melihat salah satunya yang sudah agak lusuh dan terparkir di garasi rumah penduduk. Sepertinya sudah agak lama tidak beroperasi. Apalagi seperti saat ini, sekolah pun nyaris sudah dua tahun kurang beberapa bulan menghentikan sementara sistem belajar secara tatap muka . Sudah barang tentu penumpang angkutan pun berkurang.
Angkutan minibus itu tidak beroperasi lagi boleh jadi karena tuntutan gaya hidup masyarakat masa kini yang sudah semakin remote dan mobile. Sebentar-sebentar ke sana, lalu ke sini, kemudian ke sana lagi. Selanjutnya, kalau bisa mau urus ini dan itu tanpa perlu kemana-mana.
Manusia Kini dengan Semakin Banyak Keperluan dan Kepentingan untuk Diurus