Ini adalah permenungan atas sebuah pelajaran dari kemacetan lalu lintas. Kisahnya datang dari 3 tahun yang lalu, tepat pada saat puncak hari libur lebaran, dan belum ada pandemi Covid-19.
Info pantauan lalu lintas dari 45 menit yang lalu, bahwa kemacetan jalur Kabanjahe-Medan mengular sampai hotel Suite Pakkar. Itu adalah sebuah hotel dekat perbatasan Kabanjahe-Berastagi.
Ujung kemacetannya setidaknya sampai kawasan wisata Green Hill di Sibolangit, Deliserdang. Mengingat bahwa 90 menit sebelumnya, seorang sahabat yang berkendara dari arah Medan menuju Kabanjahe menginformasikan dari kawasan itu bahwa ada kemacetan juga dari arah Medan-Kabanjahe.
Jadi, kemacetan itu berada dalam rentang jarak sekitar 21 kilometer. Waktu tempuh normalnya adalah 44 menit. Namun, akibat kemacetan, jarak itu telah menghabiskan waktu sekitar 90 menit, lebih lama dua kali dari waktu normal.
Belum lagi kalau ada tanah longsor, atau bahkan sekadar truk terbalik. Saya pernah bermalam di jalan itu, sampai lalu lintas kembali normal keesokan harinya.
Sahabat yang terjebak macet itu mengungkapkan bahwa kemacetan itu adalah situasi yang kacau. Kemacetan menjadi kacau karena ada pengendara yang masih berusaha saling menyerobot, sekalipun sudah macet betul.
Paradoks pertama. Kemajuan zaman membuat laju di jalan semakin melambat. Jalur jalan Kabanjahe-Medan ini konon dibangun oleh Belanda pada tahun 1892. Dua tahun setelah Injil dibawa oleh misionaris Belanda ke Tanah Karo.
Ternyata jalan yang diniatkan untuk memperlancar perjalanan itu menjadi ironi yang tragis bahkan setelah 129 tahun kemudian.
Kalau dilihat dari sisi ekonomi, barangkali fenomena ini tidak terlepas dari fakta bahwa daya beli masyarakat kini menjadi semakin tinggi. Kendaraan pun semakin banyak di jalanan.
Bisa juga karena ada perubahan pola pengeluaran manusia masa kini dari sisi konsumsi. Ada realokasi porsi belanja yang lebih besar bagi kebutuhan wisata atau jalan-jalan.