Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Bualan dalam Segelas Kopi Hitam di Bawah Sinar Rembulan

Diperbarui: 2 Mei 2021   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segelas kopi hitam (Dokpri)

Mentari telah tenggelam di ufuk barat sejak sejam yang lalu. Gelap menyelimuti bentala, disertai kabut tipis dan hembusan semilir angin, dingin menusuk tulang.

Bualan malam ditengahi tawa yang tertahan, lumayan menghangatkan suasana. Seorang teman melempar canda di atas meja. Ia menertawakan nestapa baru-baru ini yang melandanya. Beruntun seperti takada habisnya.

Kusulut sebatang rokok, dia melanjutkan sebatang lain berikutnya. Kami bertukar tawa meskipun tertahan, beban derita terasa berat menderanya.

Dia memesan dua gelas kopi hitam, pahit. Aroma kopi menguar, bercampur asap tipis rokok kretek yang menari ditiup angin malam. Bualan lamat-lamat mengalir tersendat, segan sepucat sinar rembulan.

Dia menatap lekat ke pekat kopi hitam, yang kini hanya tersisa setengah gelas. Aku menatap bulan setengah, yang pucat terhalang kabut.

Sinar rembulan tersaput kabut (Dokpri)

Takjelas, raut wajah siapa di sana. Entah aku atau dia, entah deritanya atau gundah gulanaku, yang kami dustai dalam bualan dibalut tawa tertahan di malam ini.

Remang malam sungguh cocok untuk menyamarkan suasana. Mungkin saja dia menangis, walaupun samar kulihat seperti tertawa. Dia aku terdiam.

Kopi hampir tandas, bulan setengah hampir tertutup sepenuhnya. Takjelas kapan kami akan beranjak pergi. Kami hanya bertukar ujar, gelas kosong dan abu rokok besok pagi saja dibereskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline