April 2011
Aku duduk seorang diri di pojok ruangan sebuah kantor kelurahan berukuran 4x5 meter. Tak lama kemudian, datang seorang ibu membawa berkas hendak mengurus "surat-surat."
Yah, begitulah, bila hendak mengurus "surat-surat." Lazimnya akan membutuhkan paling tidak barang sedikit saja tanya jawab.
Ibu itu hendak mengurus surat keterangan belum kawin dan persetujuan orang tua bagi anaknya yang hendak melamar untuk ikut tes masuk sekolah kedinasan. Surat keterangan dan persetujuan itu harus diketahui dan ditandatangani oleh lurah setempat.
Tanya jawab pun dimulai. Ibu itu bertanya dengan sangat sopan sambil mendekap kantongan plastik yang berisi berkas untuk urusan "surat-surat" anaknya. "Bagaimana sebenarnya, haruskah kami menyiapkan "sesuatu" untuk anakku dapat diterima masuk ke sekolah itu?" ia bertanya.
Aku tak menduga pertanyaannya itu. Persis pertanyaan orang kebanyakan yang aku temui setiap kali akan mengurus "surat-surat." Itu sepanjang aku ketahui, aku dengar dan aku kenang pada masa-masa itu, atau hingga masa kini?
"Apa pekerjaan Ibu dan bapak?" tanyaku.
Si ibu beringsut mendekat ke arah meja yang menjadi pemisah kami di ruangan kecil yang sumpek itu. Sambil membungkukkan badannya ia berkata, "Suami saya lumpuh dan sudah tidak mampu lagi bekerja. Saya sendiri memelihara beberapa ekor ternak babi." Matanya mulai agak berkaca-kaca.
Saya merasakan getaran kasih seorang ibu dalam nada bicaranya. Dinamika rasa yang menyiratkan tindak ketegaran yang luar biasa dalam menantang kerasnya hidup, sekaligus tampak rapuh dalam kata-kata.
"Coba saja dulu untuk anaknya ikut tes Ibu. Niat dan tekad anak Ibu yang akan menjawab pertanyaan Ibu. Mari kita doakan," jawabku setulus mungkin.
"Iya, semoga niat dan tekad anak saya juga akan mendorong bapaknya agar semakin semangat berusaha untuk bisa lekas pulih."
Aku mulai mengetik di blangko surat keterangan. Diketik rangkap dua, digandakan dengan kertas karbon. Gemuruh suara mesin ketik meramaikan beberapa saat kebisuan kami di ruangan yang sumpek itu.
3 bulan kemudian...