Bahagia ada di mana-mana, Senina (Saudaraku, bahasa Karo)
Ungkapan di atas adalah jawaban singkat dari saudara saya, Os Tarigan, membalas komentar saya pada sebuah lagu yang dia ciptakan sendiri, dengan judul "Apa Kabar Cinta?" di kanal YouTube miliknya. Lagu ini diunggah pada tanggal 6 Desember 2020, tepat pada hari ulang tahun ke-66 bapak, ayah kami.
Lagu ini memang diciptakan dan ditujukan untuk bapak kami. Terinspirasi dari perjalanan hidupnya sebagai seorang pendeta, saat menjadi pelayan jemaat di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Sukanalu. Itu adalah sebuah desa di Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo.
Majelis jemaat Sukanalu ini memiliki beberapa wilayah pelayanan, meliputi beberapa desa yang berjauhan. Antara lain desa Bulanjahe, Bulanjulu, Pertumbuken (masuk wilayah Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo), dan desa Tanjung yang sudah termasuk wilayah Kabupaten Simalungun. Desa ini adalah wilayah pelayanan terjauh di majelis jemaat ini.
Masa itu adalah sekitar tahun 1980-an hingga tahun 1992. Ya, dia melayani sebagai pendeta jemaat GBKP di desa itu sekitar 11 tahun. Kondisinya tentu sangat jauh berbeda dengan saat ini.
Dia harus melayani jemaat berkeliling di antara desa-desa itu. Jemaat biasanya memulai persekutuan sekitar pukul 21:00 wib. Kondisi ini tidak terlepas akibat pekerjaan utama sebagian besar jemaat adalah bertani, yang terkadang baru pulang ke rumah dari ladang mereka menjelang malam.
Pada masa itu penerangan belumlah seperti sekarang. Tidak jarang desa-desa belum dialiri listrik dari PLN. Lampu minyak adalah sumber penerangan utama pada umumnya. Perjalanan pulang pergi dalam pelayanan tentu saja harus ditempuh dengan menembus gelapnya malam.
Oleh karena rumah yang disediakan bagi pendeta jemaat berdekatan dengan gedung gereja yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk, maka ibu, mamak kami, dan kami anak-anaknya tinggal di desa lain, desa Serdang namanya. Pada masa itu, rumah penduduk yang terdekat dengan rumah dinas pendeta mungkin sekitar 1 kilometer jauhnya.
Tentu tidak mudah bagi mamak dan bapak kami, untuk tinggal terpisah, bekerja sambil membesarkan kami anak-anaknya dari desa yang berbeda. Kami hanya berjumpa setiap hari Sabtu. Kami bersama mamak baru mengunjungi bapak ke desa tempatnya melayani, sebab kami mengikuti ibadah Minggu pagi di geraja itu.
Senin pagi sekali, kami harus sudah berangkat lagi ke desa Serdang. Sebab ibu kami mengajar sebagai guru sekolah dasar negeri di desa itu.