"Agak sore nanti kami ngopi di tempatndu, ya. Aku bawa tamu dari Bandung", demikian aku mengakhiri telefon dengan Yus, siang itu.
Mobil melaju dengan setir di genggamanku. Kuliah tentang jurnalisme warga pada Kamis, 3/12/2020 pagi itu, masih tetap terngiang. Apakah aku sudah kehilangan orbit, atau pikiranku yang harus direparasi? Oh, terlalu banyak sudut pandang yang aku dapat hari ini, dan itu agak mengacaukan fokusku.
Aku hanyalah seorang jurnalis warga, yang seharusnya tidak terbeban dengan oplah dalam jumlah viewers. Bukankah oplah seharusnya menjadi urusan divisi pemasaran? Oh, aku hanya seorang jurnalis warga tanpa manajemen, haha.
Tidak menjadi masalah, bagaimana pun aku berangkat menulis dengan bekal nuansa Melayu dalam tulisan. Mungkin masih akan terus belajar menulis cerita bergaya feature. Sebab kata kang Hikmat, orang Bandung itu, artikel berita yang menarik, adalah yang berciri feature "story behind the news", sebuah cerita di balik berita.
Seringkali hal remeh-temeh, di balik layar pemberitaan adalah sebuah kisah yang bermanfaat menjadi lead suatu berita. Siapa lagi yang akan bersedia memungut serpihan daging berita ini, bila bukan warga sendiri yang berlaku sekaligus sebagai jurnalis? Setidaknya untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, dan kampung halamannya.
Dalam hal ini, mungkin nama seorang tukang penyapu jalan, seorang buruh tani, dan orang-orang bersahaja lainnya yang tak dikenal, mungkin akan muncul menjadi cameo dalam artikel.
Jurnalisme seperti ini pun mungkin saja akan memunculkan sebuah jurnalisme sastrawi. Ia bukan saja bersahaja, tapi juga tampil dalam kepolosannya. Unsur sastrawi dalam tulisan sederhana seorang jurnalis warga, bisa saja menampilkan suara tonggeret pada suatu sore menjelang malam di tepi jalan ke ladang pada sebuah desa.
Itu adalah sejenis sastra ringan yang kita punya. Rasa dalam kicau burung, suara jangkrik, suara katak, desir angin, gemericik sungai. Bagi seorang jurnalis warga yang bersahaja, liputan lapangan dalam suasana sastrawi alam yang sederhana.Saya mengaminkannya sebagai sebuah liputan yang diberi nama "Reportase Cinta".
Itu adalah sebuah liputan yang berisi suara hati dari remah-remah yang ketinggalan dalam suatu pemberitaan. Namun, ceritanya menyentuh perasaan terdalam dari orang-orang yang merasakan, dan melihat dari sudut pandang pemberitaan yang berbeda. Lagi-lagi, itu adalah gambaran nuansa dari pancaindra dalam reportase lapangan.
Membaca tentu penting bagi seorang penulis, tapi tidak kalah penting adalah menemukan sisi lain bahan dalam kehidupan. Jurnalis warga yang melakukan liputan dengan cinta perlu membaca kehidupan.