Foto seorang bocah dengan layang-layang karya Brett Davies di atas menunjukkan seorang bocah lelaki yang sangat antusias menerbangkan layang-layangnya, dengan latar belakang pemandangan hangat matahari terbenam di tepian kota Galle, bagian Selatan Sri Lanka.
Seminggu yang lalu, tepatnya Minggu, 22/11/2020, adalah ibadah Minggu akhir kalender gerejawi di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Dalam tradisi sebagian gereja, pada minggu terakhir kalender gerejawi ini disebutkan nama-nama mereka, anggota jemaat yang meninggal selama satu tahun pelayanan. Hal itu dimaksudkan untuk mengenang perjalanan hidup, kasih, dan karya yang telah mereka perbuat selama hidupnya.
Sedangkan, bagi jemaat yang masih hidup, mengenang mereka yang sudah pergi lebih dulu berguna untuk mengingatkan, bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Saat hidup di dunialah kita memiliki kesempatan untuk memberi arti kematian kita nanti.
"Memento mori", ingatlah hari matimu.
Ada sebuah firman dari nats Alkitab pada kitab Pengkhotbah Pasal 1 ayat 11, katanya, "Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datang pun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya".
Shakespeare pernah menulis cerita dengan kalimat yang diucapkan oleh Hamlet, katanya "Suatu hari kita berjalan-jalan di atas bumi, lalu pada hari berikutnya kita mati dan hilang." Kalimat di atas, dalam pemaknaan hidup pada periode Barok adalah semacam kritik atas kehidupan yang ditandai oleh kepalsuan, sikap hidup yang dibuat-buat.
Oleh sebab pada saat yang sama, nyatanya tidak kurang banyak orang yang sangat gandrung dengan sisi lain zaman pada masa itu, yakni hakikat kesementaraan dari segala sesuatu. Sadar atau tidak, kenyataannya bahwa seluruh keindahan yang mengelilingi hidup suatu hari akan musnah.
Hari ini kita bisa saja merasakan kebahagiaan meluap, dan seolah akan selamanya menjalani hari dengan sikap hidup yang sangat optimis. Kita berteriak "Carpe diem!". Bersemangat merebut setiap kesempatan pada hari ini. Ya, kalau tidak sekarang kapan lagi!
Belum tentu, sesaat setelah itu, tanpa menunggu hari berganti, sisi lain kehidupan dalam rupa kemurungan karena kesusahan akan membuat kita tersadar bahwa kita suatu saat pasti akan mati, "memento mori". Tertawa jangan terlalu, menangis juga jangan terlalu, sebab kita di dunia ini hanya hidup sementara. Hidup di antara optimisme dan kesenduan yang silih berganti.
Kita perlu menjalani hidup dengan penuh kasih dan pengertian terhadap sesama. Kalaupun ada yang mampu selalu tampak dewasa bukan berarti dia tidak dirundung oleh masalah.
Apalagi bagi mereka, sesama kita, yang terpaksa "mengungsi" dalam kehidupan. Mengungsi karena rasa takut akibat ancaman, entah karena bencana alam, perang, ataupun ancaman rasa kebencian. Patut kita renungkan, bahwa sebenarnya siapa pun kita, kita bersama-sama adalah pengungsi di kehidupan dunia yang sementara ini?