Apa yang biasa dilakukan orang-orang ketika mata enggan terpejam, sementara ayam sudah berkokok tiga kali? Sebagian orang mungkin bisa pergi ke warung yang buka sampai tengah malam untuk mencari kudapan dan mengobrol dengan sesama pengidap insomnia. Seperti kisah pada sebuah kedai di film Midnight Diner, dalam cerita ini.
Sebagian lagi mungkin seperti anak-anak muda, ditengahi derau suara motor yang memekakkan telinga di kelamnya malam sambil balapan liar pada malam minggu menjelang pagi buta di jalanan kota. Atau bisa juga menonton film horor sendirian, hiii. Mungkin ada juga yang mencoba terapi dengan mengunjungi klub penyembuhan bagi para pengidap insomnia, dengan berbagi cerita.
Duh, ditambah seminggu belakangan ini pikiranku dicekoki artikel unik nan menarik tentang tuak di Kompasiana, apakah aku harus juga minum tuak untuk bisa tidur ya? Untungnya ada Kompasiana, cukuplah aku curhat di sini saja.
Tidak kurang dari bung Guido Reba, Profesor Felix Tani, bang Gurgur Manurung dan Romo Gregorius Nyaming yang menganggit dalam kesempatan yang berbeda-beda dalam seminggu ini, artikel unik nan menarik tentang tuak itu di Kompasiana. Mulai dari artikel serius tapi santai tentang peran tuak dalam adat budaya dan balutan puisi, hingga cerita humor tentang tuak dalam sosok inspiratif Jahorman.
Latar cerita juga terbentang cukup luas, mulai dari tradisi masyarakat Batak Toba di sekitaran Danau Toba Sumatera Utara, pada suku Dayak Desa di Kalimantan, hingga suku Manggarai, di Nusa Tenggara Timur. Setiap cerita itu memandang tuak dalam kekhasan adat budaya dan kearifan lokal di dalamnya.
Tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat itu, sama juga halnya di kampung kami pada umumnya di Tanah Karo. Tuak adalah minuman sehari-hari bagi sebagian kalangan, yang juga muncul dalam interaksi pada berbagai acara berbalut tradisi.
Saya kembali teringat sebuah pengalaman ketika pertama kali meminum tuak. Orang-orang di sini kini biasa juga menyamarkan sebutannya secara prokem sebagai susu putih.
Saat itu, seorang teman yang sedang bersusah hati mengajakku untuk menemaninya minum tuak ke sebuah lapau tuak dekat rumah. Sontak saja, beberapa orang yang ada di sana terkejut mendapatkan aku duduk meminum tuak. Aku memang tidak terlalu terbiasa meminumnya.
Tidak berselang lama, dua gelas tuak tandas kuminum. Sekonyong-konyong aku merasa kulit muka agak panas, sedikit menebal bersama kulit telinga, dan sepertinya berubah agak memerah.
Seorang bapak yang mengenalku berkata, "Nak, sepertinya sudah bisa kalian atur rencana selanjutnya. Sebentar lagi hari makin sore, mungkin akan semakin banyak orang yang akan datang minum ke sini."
Bagiku, omongan bapak itu sebenarnya adalah perintah halus yang dimaksudkan agar kami segera pergi. Sudah lazim diketahui bahwa meminum tuak, terutama bagi yang tidak biasa, bisa menyebabkan hilang kesadaran meskipun hanya minum sedikit.