Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Novel | Menyusuri Elegi Seorang Hamba

Diperbarui: 25 April 2020   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokpri

Bagian 1
Mengawali Karier: Bekerja?

...no body said it was easy...(the scientist, coldplay)

Kita semua menyanyikan syair kehidupan. Entahkah itu ratapan dan ungkapan dukacita, tidak hanya untuk ratap tangis atau kesedihan karena kematian, tapi juga untuk menggambarkan rasa kehilangan atau penyesalan atas suatu pengalaman pahit dari peristiwa masa lampau.

Elegi kita nyanyikan sebagai empati atas kemalangan yang dialami oleh orang lain. Namun, kita juga menyanyikan elegi untuk cinta, yang terkadang pupus oleh perang, pergumulan dan ratapan atas matinya semangat berpengharapan.

Sore itu para Calon Pegawai Negeri Sipil yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah berumah tangga sedang duduk-duduk bergerombol di susunan kursi-kursi dengan meja-meja yang disusun sedemikian rupa seperti sehabis dipakai untuk berdiskusi. Mereka ini adalah para Calon Pegawai Negeri Sipil yang mengikuti pendidikan dan pelatihan pra jabatan, suatu kegiatan yang wajib diikuti oleh para Calon Pegawai Negeri Sipil yang baru lulus seleksi penerimaan sebelum diangkat penuh sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Usia rata-rata para peserta sekitar 30 tahun, sebagian besarnya adalah guru SD yang diterima sebagai calon PNS untuk ditempatkan di daerah yang terjauh dan terpencil di sebuah kabupaten.

Sedang asyik mereka bercerita, datanglah Tegar, seorang PNS muda lulusan sekolah kedinasan pemerintahan, yang baru ditempatkan sebagai pegawai magang di unit kerja yang melaksanakan kegiatan ini. "Sedang ngobrolin soal apa ini Bapak, Ibu?" tanya Tegar.

"Bukan apa-apa Pak, hanya bertukar sedikit cerita dan pengalaman masing-masing sebelum diterima menjadi calon pegawai pak" kata pak Saragih.

Ia adalah seorang calon PNS golongan II, calon guru SD yang akan ditempatkan untuk mengajar murid-murid SD di sebuah desa yang terpencil di sebuah kecamatan yang juga agak jauh dari ibukota kabupaten.

Tegar adalah seorang anak dari keluarga menengah bawah. Ayahnya bekerja sebagai guru SMP swasta di ibukota kecamatan, dan ibunya yang adalah guru SD negeri di sebuah desa terpencil. Tegar memiliki dua orang saudara, satu laki-laki dan satu perempuan. Tegar yang paling tua, baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi kedinasan pamong praja di Pulau Jawa dan akan segera ditempatkan sebagai PNS di ibukota kampung kelahirannya sendiri.

Jetro adiknya, masih duduk di bangku kuliah jurusan arsitektur di sebuah universitas negeri di ibukota provinsi, dan Janet sibungsu masih duduk di bangku SMA negeri kampung yang sama. Pengalaman hidup serba cukup di keluarga yang sederhana ini, walaupun tidak memprihatinkan, dengan gaji yang pas-pasan dari kedua orang tuanya dengan tingkat penghasilan dari gaji pada masa tahun 80-an membuat Tegar sangat akrab dengan kisah perjuangan hidup pak Saragih yang sedang dibahas bersama teman-teman diklatnya di jam istirahat sore hari itu.

"Saya sangat bersyukur bisa diterima menjadi calon PNS, walaupun hanya PNS rendahan di sekolah kecil di desa terpencil Pak" kata pak Saragih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline