Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Sinuan Gambir dalam Tawa dan Tangis, Tempat Mengambil Hikmah

Diperbarui: 24 Februari 2020   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persadan Sinuan Gambir (Dokpri)

 Ungkapan "Tak Cinta Maka Tak Sayang" adalah sebuah pepatah Melayu yang sudah sangat tua dan sangat sering diucapkan. Terutama dalam kebiasaan orang-orang Melayu saat pertama kali memperkenalkan dirinya, atau memperkenalkan apapun hal yang baru.

Namun, dalam praktiknya, sering kali kekurangpengenalan kita akan sesuatu hal memang menjadi penyebab awal mengapa kita justru tampak seperti turut memupuk bertumbuhnya generasi "wow efect", karena hampir setiap hal bagi manusia saat ini adalah hal yang biasa.

Mulai dari hal-hal yang paling baik, hingga hal-hal yang paling buruk, adalah hal-hal yang biasa bagi manusia masa kini. "Apa sih yang tidak ada? Hampir tidak ada hal yang baru dalam hidup saat ini", demikianlah pikir manusia itu. Oleh sebab itu, apa yang dinanti oleh manusia saat ini umumnya adalah hal-hal yang menarik hatinya karena mampu menimbulkan kesan "wow" bagi dirinya.

Sama seperti ungkapan, "Penyesalan selalu datang belakangan", karena manusia masa kini sudah merasa ungkapan itu kuno, maka ia menambahkannya dengan candaan, katanya "Karena kalau datang duluan namanya pendaftaran". Begitu pun dengan rasa cinta dan rasa sayang, sering kali muncul setelah ada kesan "wow" yang timbul dari dalam hati.

Jadi memang datangnya cinta kini sudah tidak cukup dari mata turun ke hati. Tidak sama seperti datangnya lintah, dari sawah turun ke kali.

Sebelum Juli tahun 2017, setiap kali berkendara dari Tanah Karo ke kampung halaman ayah saya di dusun Tebing Ganjang yang termasuk wilayah Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, ketika melewati sebuah pasar yang ada di Desa Sibolangit Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, saya termasuk salah seorang yang pasti merasa jengkel karena sering terjadi kemacetan saat hari pasar berlangsung.

Pasar yang disebut "Tiga Sibolangit" itu (Tiga = pasar dalam Bahasa Karo), memang adalah sebuah pasar tradisional yang berada tepat di pinggir jalan nasional yang menghubungkan beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dengan kota Medan. Bahkan menghubungkan beberapa kabupaten di Provinsi Aceh dengan kota Medan. Jadi sudah pasti sangat padat lalu lintasnya.

Pasar "Tiga Sibolangit" adalah sentra jual beli hasil bumi yang berlangsung seminggu sekali, setiap hari Jumat. Masyarakat yang menjual hasil-hasil bumi berupa buah, sayur, gula aren, ternak, dan sebagainya itu, berasal dari berbagai desa yang ada di Kecamatan Sibolangit. Desa Puangaja, Bengkurung, Bentimus, Rajaberneh, Rumah Kinangkung, Tambunen, Ujung Beringin, Buluh Awar, Laja, Saring Kulit, Selawang, Bukum, Sikeben, Sayum, Sembahe, Bandar Baru, Penen, dan lain sebagainya, adalah beberapa nama desa di antaranya, di samping beberapa desa lain di sekitarnya.

Selain beberapa hasil bumi di atas, ada satu komoditi lain yang merupakan komoditi khas di pasar ini, yakni "Parira". Itu adalah kata untuk petai dalam Bahasa Karo, maka "Tiga Sibolangit" juga dinamakan "Tiga Parira".

Petai (dokpri)

Karena dulunya pasar ini mungkin cukup legendaris, maka ada sebuah lagu pop daerah dalam Bahasa Karo yang ditulis dengan judul "TIGA SIBOLANGIT". Isi liriknya sebagai berikut:

Tiga bage i Sibolangit mbarenda
Tiga Sibolangit mbarenda, tiga parira
Enterem jelma si erbinaga ku tiga
Maba durin parira galuh lacina

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline