Tidak kurang dari 27 tahun yang lalu, pada tahun 1993, saya bersama adik dan sepupu saya berjalan beriringan di sepanjang tepian tanggul sungai. Sesekali kami harus agak memutar lebih jauh dari tepi sungai karena semak belukar dan onak duri membuat tubuh mungil kami tidak mungkin menembusnya.
Kami berjalan dari bagian hilir sungai yang ada di Desa Sukanalu hingga ke hulu di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Kami menyusuri sungai ditemani kakek kami yang menjala ikan di dalam sungai.
Sesekali dia menyelam menjebak ikan yang bersembunyi di lubuk-lubuk bagian sungai yang lebih dalam. Bila mendapatkan ikan yang sudah cukup banyak, dia akan memanggil kami yang hanya bertugas menyusuri sungai sambil menenteng kantung jaring yang berisi ikan-ikan hasil tangkapannya.
Itu adalah perjalanan satu arah, berjarak lebih kurang 8 kilometer menyusuri sepanjang tepi sungai. Tidak ada jalan kembali bagi penjala ikan, ke hulu adalah tujuan untuk pulang.
Begitupun kenangan. Bagi anak laut, maka laut adalah rumah tujuan pulang, biasanya. Mengutip lirik lagu Jikustik, "Hatiku tertanam di setiap jengkal tanah di hutan belantara. Kakiku tertanam di setiap jengkal tanah yang menuju muara", demikianlah bagi anak gunung, hutan dan sungai, tidak ada tempat lebih baik untuk kembali selain ke sungai, hutan dan gunung.
Mengasingkan diri dari pekerjaan bersama teman-teman, kami melakukan setidaknya tiga kali perjalanan kembali ke Badigulan setelah 25 tahun pada tahun 2018 yang lalu. Itu adalah tanggal 13 Januari, 18 Februari, dan 25 Februari 2018.
Badigulan sebenarnya adalah sumber mata air yang berada di atas gunung di Desa Serdang yang masih termasuk wilayah Kabupaten Karo. Kawasan di balik gunung tempat beradanya sumber mata air itu sudah termasuk wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Desa Serdang sendiri dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang 45 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo.
Air yang berasal dari sumber mata air Badigulan ini, adalah sumber air minum bagi warga di Desa Serdang dan desa lain di sekitarnya. Air dialirkan cukup dengan pipanisasi, karena gravitasi cukup mengantarkan air siap minum ke kamar mandi umum di desa, bahkan langsung ke rumah-rumah warga.
Adalah hal yang ironis memang, di saat teknologi makin maju, kita kini justru membeli air mineral dalam kemasan, yang dikelola oleh perusahaan swasta besar dan terkadang bahkan perusahaan multinasional, yang untuk mendaftar menjadi karyawannya saja tidak mudah. Padahal mereka menjual air yang berasal dari perut bumi kita sendiri.
Saya masih mengalami sendiri, bagaimana segarnya langsung meneguk air yang berasal dari mata air Badigulan Desa Serdang ini. Saya harus jujur mengakui, rasa air dari pancuran tempat air ini mengucur setelah tiba di kampung dari gunung, jauh lebih segar dari rasa air mineral dalam kemasan yang katanya sudah melewati proses sterilisasi ultra violet. Itu adalah masa ketika saya masih di bangku sekolah dasar pada tahun 1990. Sekarang pun masih seperti itu di desa ini.
Mata air Badigulan adalah bagian yang menyuplai air Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu yang bermuara ke Selat Malaka. Air mengalir ke kaki gunung, menganak sungai ke sungai-sungai yang melewati berbagai desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga bermuara ke Selat Malaka, berkumpul dengan air dari sungai-sungai negara lain di Laut Cina Selatan hingga bersatu di Samudra Pasifik.