Di dalam spektrum ruang dan waktu yang merupakan sebuah kontinum, sebagian diri kita tenggelam dalam kenangan akan kejayaan masa lalu, sementara itu sebagian lainnya terlena dalam lamunan akan indahnya masa depan. Namun, sekurang-kurangnya kita memiliki masa kini sebagai sebuah kesempatan untuk bisa dinikmati.
Jadi benar, hidup ini adalah kesempatan. Barangkali hal ini berkaitan dengan dialektika di antara ungkapan memento mori dan carpe diem, di antara kesadaran tentang singkatnya hidup dan semangat menggebu untuk memetik hari.
Bila merujuk ke lirik sebuah tembang lawas ABG era 90-an pada masanya Sheila on 7, ada ungkapan lirik dalam lagunya demikian: "Peluk erat pinggangku saat kita melaju di atas dua roda, nikmati serta lagu kesayanganmu di mana kita terangkai bersama. Peluk erat pinggangku saat kita melaju di bawah bintang-bintang, nikmati serta lagu kesayanganmu di mana kita terangkai bersama".
Bahwa menikmati hidup bisa saja walau hanya dengan sebuah hal yang sederhana, yakni dengan sekadar memeluk pinggang sambil melaju di atas dua roda, sambil menikmati sebuah lagu kesayangan dan di bawah bintang-bintang. Catatan dari lirik tersebut ada beberapa kata kunci, yakni melaju, menikmati, dan terangkai bersama.
Melaju adalah sebuah aktivitas yang menandai bahwa manusia memang hidup dalam suatu kontinum ruang dan waktu. Kontinum ruang dan waktu bila dipertentangkan dengan kontras, memang bisa mengarah ke dua hal, awal dan akhir.
Katakanlah misalnya seperti proses yang saling berkebalikan antara Big Bang dan Big Crunch. Bila Big Bang atau Dentuman Besar dipandang sebagai skenario yang menjelaskan awal mula terbentuknya alam semesta melalui proses laju pemuaian ruang.
Maka kebalikannya, Big Crunch atau Penciutan Besar adalah skenario akhir alam semesta melalui proses laju penciutan, dimana ruang yang ada akan menciut hingga berkumpul di satu titik. Kendati teori yang lain ada juga yang mengijinkan terjadinya Big Bang setelah Big Crunch.
Artinya awal dari sesuatu bisa juga sekaligus dipandang sebagai akhir dari sesuatu yang sebelumnya. Hidup adalah kesempatan dan juga sebuah kontinum, yang berkebalikan selalu datang dan pergi silih berganti, yang awal menjadi yang akhir atau sebaliknya.
Tapi bagaimanapun juga, manusia yang hidup di dalam spektrum ruang dan waktu sebagai sebuah kontinum, hidup dengan pengetahuannya yang terbatas, tidak mungkin mampu memahami seluruh alam semesta yang maha luas, apalagi memahami sumber yang pertama dan terutama dan Maha Segalanya.
Bahkan di antara sesamanya manusia sendiri, dengan kembali mengutip Nietzsche, bahwa pengetahuan manusia adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa, dimana ide tentang pengetahuan murni tidak dapat diterima karena nalar dan kebenaran tidak lebih dari sekedar sarana yang digunakan oleh ras dan spesies tertentu.
Lagi kata Nietzsche, kebenaran bukan sekumpulan fakta, karena hanya mungkin ada interpretasi dan tidak ada batas bagaimana dunia diinterpretasikan. Jika kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia merupakan konsekuensi dari kekuasaan. Sementara itu, dimanapun afirmasi kekuasaan selalu diiringi resistensi, meski dalam bentuk dan gradasi yang berbeda-beda.